Bagi suatu negara, pers berfungsi sebagai saksi dan penjaga suatu kebenaran sekaligus kontrol sosial terhadap kekuasaan. Dan di Indonesia sendiri, pers mempunyai catatan perjalanan yang panjang mengingat negara ini sedari dulu telah memiliki jalinan kontak dan komunikasi media dengan bangsa Eropa sehingga mendorong lahirnya perkembangan media tulisan, seperti surat kabar, yang bergerak sesuai dengan kebutuhan informasi di setiap masanya. Sebagai contoh, pada era pergerakan nasional, pers berperan sebagai alat perjuangan untuk mengumpulkan informasi. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, kehidupan pers Indonesia berkembang dengan penuh semangat revolusioner, terlebih selama masa revolusi fisik (1945-1949) berlangsung, surat kabar hadir menjadi media perjuangan lanjutan yang tumbuh dalam mempertahankan kemerdekaan.
Memasuki tahun 1950, Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal yang penuh semangat dan euforia. Pers menjadi bagian tak terpisahkan dalam masyarakat, terlebih media pers saat itu lahir dari kesinambungan masa lalu, dengan begitu semangat perwujudan cita-cita 'demokrasi' yang telah lama diperjuangkan masih sangat membara. Di sisi lain, kondisi politik yang dinamis juga membuat pers memainkan peran ganda sebagai wadah ekspresi berbagai ideologi dan kepentingan, keberagaman pers ini hadir atas dasar dari pemenuhan kepentingan mereka. Terlebih setelah Soekarno mengusulkan konsep ideologi Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) pada Februari 1956, kehidupan pers semakin dipengaruhi oleh kekuatan politik dari masing-masing golongan, kondisi ini terus berlanjut hingga ambang tahun 50-an, kemudian bertransisi ke era baru, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Contoh kekuatan politik tersebut di antaranya, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan surat kabar Suluh Indonesia-nya, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan Harian Abadi-nya, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Harian Rakjat-nya. Semuanya muncul sebagai implementasi dari landasan Nasakom yang dicetuskan oleh Soekarno.
Dengan fenomena pers yang berkembang, tentu timbul pertanyaan mengenai publikasi yang bernafaskan agama Kristen, apakah tidak ada publikasi yang muncul dari kalangan ini? Menjawab pertanyaan tersebut, sejatinya sejak Oktober 1946, telah terbentuk suatu komisi publikasi media cetak Kristen yang dikenal sebagai Badan Penerbit Darurat Gereja dan Pekabaran Injil. Pada tahun 1950, lembaga ini berubah nama menjadi Badan Penerbit Kristen (BPK) sekaligus berfungsi sebagai organ resmi dari Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yang kini dikenal sebagai PGI. Meskipun demikian, hingga awal tahun 1960-an, publikasi yang dihasilkan masih dalam lingkup yang terbatas, sebuah kemajuan signifikan baru terlihat pada pertengahan tahun tersebut ketika beberapa pemimpin gereja dalam struktur DGI melalui fraksi Partai Kristen Indonesia (Parkindo), menyuarakan aspirasi terhadap kesempatan bagi lahirnya pers harian yang berlandaskan kekristenan di tengah masyarakat Indonesia.
Berawal dari sinilah media pers bernapaskan kekristenan di Indonesia, yaitu Sinar Harapan, muncul. Pers yang berbentuk surat kabar ini secara perdana terbit pada 27 April 1961 dengan Hendrikus Gerardus Rorimpandey sebagai pemimpin umum pertamanya. Meskipun didirikan oleh tokoh-tokoh gereja, DGI, dan Parkindo, nyatanya berita yang dipublikasikan oleh Sinar Harapan tidak "berpredikat" pada isu-isu Kristen atau sebatas pada informasi internal gereja. Sebaliknya, surat kabar ini menyajikan berbagai isu sosial dan politik yang relevan bagi masyarakat luas. Surat kabar ini bertekad untuk membangun surat harian yang dapat diterima oleh seluruh kalangan pembaca di Indonesia, hal ini sejalan dengan motto yang diusung, yaitu 'Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih', Sinar Harapan berupaya untuk memperjuangkan keadilan berlandaskan cinta kasih, guna menciptakan masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan, sebagaimana yang terlihat pada prinsip Alkitabiah,
Meski begitu, bukan berarti Sinar Harapan hadir tanpa menghadapi rintangan, sebagai pers yang lahir dan berlangsung pada era yang terkenal akan sikap otoriternya, surat kabar ini justru menjadi langganan pembredelan akibat muatan informasi yang dianggap keras terhadap pemerintah. Contohnya, pada 2 Oktober 1965, Sinar Harapan menerbitkan berita mengenai peristiwa G30S, tetapi pemberitaan tersebut terpaksa ditarik karena larangan bagi media untuk mengekspos peristiwa tersebut secara bebas. Walaupun begitu, surat kabar ini terus berkembang--bahkan semakin gencar dalam menerbitkan berita. Memasuki masa kepemimpinan Soeharto, Sinar Harapan pernah mengekspos pemberitaan mengenai laporan Komisi IV yang diketuai oleh Wilopo mengenai korupsi pada 24 Juli 1970, seharusnya laporan tersebut diumumkan oleh presiden dalam sidang DPR tanggal 16 Agustus 1970, tetapi Sinar Harapan telah sebulan lebih dulu mendahului presiden. Akibat penerbitan itulah surat kabar ini kembali dibredel oleh pemerintah.
Menariknya, di tengah situasi industri pers Indonesia pada tahun 1970-an yang mengalami perubahan signifikan dan banyaknya pemberangusan, surat kabar ini justru berhasil bertahan dengan penjualan sebanyak 65.000 eksemplar. Sementara itu, surat kabar 'Kristen' bergengsi lainnya, Kompas, juga mencatatkan penjualan yang baik sebanyak 75.000. Hal ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat surat kabar di Indonesia masa itu sebagian besar hanya terjual kurang dari 20.000 eksemplar. Walaupun Sinar Harapan sudah pernah dibredel dua kali, adanya pengalaman tersebut, disertai dengan penjualan yang baik, semakin memotivasi tim redaksi untuk terus menyajikan informasi yang penting bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Sinar Harapan kembali menerbitkan berita berjudul "Presiden Larang Menteri-Menteri Beri Fasilitas pada Proyek Mini", yang akhirnya mengharuskan mereka untuk berurusan dengan Dewan Kehormatan Pers pada Januari 1972. Akibatnya, surat kabar ini mengalami pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk sementara waktu. Masih pada tahun yang sama, tepatnya dalam edisi 30 Desember 1972, surat kabar Sinar Harapan menerbitkan pemberitaan mengenai RAPBN tahun 1973-1974, yang ternyata dianggap pemerintah sebagai pelanggaran informasi sekaligus pembocoran rahasia negara, sebab berita tersebut kembali mendahului pengumuman resmi yang nantinya dilakukan Presiden Soeharto. Maka dari itu, pada 2 Januari 1973, lagi dan lagi izin cetak surat kabar ini dicabut, tetapi setelah melalui polemik yang cukup panjang, akhirnya Sinar Harapan berhasil mendapatkan izin cetaknya kembali.
Narasi tajam dan kritis terus dilontarkan oleh Sinar Harapan, tiada sedikit pun rasa gentar muncul dalam setiap terbitannya. Pada tahun 1974 misalnya, berbagai surat kabar, termasuk Sinar Harapan, dibredel akibat publikasi mereka terhadap peristiwa Malari. Puncak pembredelan terjadi pada tahun 1986, akibat pemberitaan dengan headline "Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor", pemerintah mencopot SIUPP surat kabar ini dan hal tersebut menjadi akhir dari perjalanan Sinar Harapan, sebab sejak saat itu surat kabar ini tidak lagi memiliki izin penerbitan dari pemerintah. Meskipun akhirnya harus terhenti, tetapi Sinar Harapan sukses dan tetap dikenal karena komitmennya terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Surat kabar ini sekaligus menjadi bukti bahwa pers yang bernafaskan kekristenan mampu berperan aktif dalam menyuarakan keadilan serta kebenaran di tengah tantangan yang terus berlalu-lalang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H