Sebagai seorang manusia, kita sering sekali merasakan beban kehidupan yang terkadang menuntut sesuatu di luar dari kapasistas beban kita bekerja. Rutinitas sehari-hari dengan model yang sama membuat kejenuhan mendominasi setiap langkah. Dengan begitu lagi-lagi kita dituntut untuk mencari arti kebahagiaan yang sebenarnya.Â
Apalagi setiap orang mempunyai standar yang berbeda-beda jika diharuskan menafsirkan pengertian tentang kebahagiaan yang terkadang selalu dinamis mengikuti perubahan zaman.
Perkembangan konsep kebahagiaan menuntut perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat, terlebih diri kita sendiri. Pada umumnya masyarakat sudah mau dikatakan bahagia apabila hari ini perut bisa makan, sebagian masyarakat lagi lebih jauh mengartikan kebahagiaan dengan sesuatu hal yang mempunyai nilai tinggi semisal mampu mengoleksi emas dan berlian. Jiwa mereka akan tenang dan bahagia apabila semua itu sudah terpenuhi.Â
Dengan begitu pemaknaan dari arti kebahagiaan yang sebenarnya benar-benar tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang berusaha hidup tidak hanya sekedar bisa makan atau mampu mengoleksi barang mahal seperti itu.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Bahagia adalah perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala hal yang menyusahkan hidupnya). Atau suatu keberuntungan yang mampu membuat perasaan jiwa dapat merasa nyaman tanpa gelisah sedikitpun. Banyak sekali pengertian dan definisi tentang bahagia, tapi lagi-lagi perlu digaris bawahi bahwa setiap orang mempunyai standar masing-masing dalam mengintrepetasikan arti kata bahagia.Â
Menurut al-Farabi, seorang filosof Muslim sekaligus sufi yang pemikiran-pemikirannya mampu membangun perspektif pikiran-pikiran baru bagi manusia-manusia modern seperti kita saat ini kebahagiaan yaitu kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri. Kedua, Mencari jalan yang tepat menuju kebahagiaan. Ketiga, Ada hubungan akhlak dan kebahagiaan.
Bagi al-Farabi kebahagiaan adalah inti jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud dimana ia tidak membutuhkan dalam eksistensinya kepada suatu materi. Atau menurut dugaan penulis kebahagaiaan tertinggi al-Farabi yaitu di dunia maupun akherat kelak bisa dicapai. Dengan begitu kebahagiaan bukan lagi tentang suatu hal pemuasan diri di dalam jiwa manusia itu sendiri.
al-Farabi mengatakan dalam buku Risalahnya, yaitu kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri, artinya yaitu kebaikan dengan cara apapun baik dilakukan karena seseorang itu suka melakukan kebaikan tersebut.Â
Atau sewaktu kita melakukan kebaikan, kita tahu bahwa kebaikan itu membawa banyak manfaat baiknya, dengan begitu kita melakukan secara sukarela dan itu dapat membuat jiwa dan hati terasa tenteram dan damai. Atau apapun nilai kebaikan itu tercurahkan, kebahagiaan akan tiba. Contohnya seperti kita melakukan sikap jujur, ikhlas dan saling tolong-menolong dengan orang lain.
Kedua, yaitu Jalan menuju kebahagiaan yaitu ketika seseorang mampu menjadi kodratnya sendiri atau patuh terhadap hukum-hukum yang dibuatnya guna mencapai tingkatan kehidupan yang membahagiaan. Misalnya menguatkan niat dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari misalnya ketika semua orang mengangap bahwa korupsi itu mencuri dan berdosa.Â
Sebagai manusia yang mempunyai hati dan mampu berpikir, saat seseorang tidak melakukan korupsi, seseorang itu akan merasakan kebahagiaan di dalam jiwanya karena tidak melakukan tindakan yang merusak moral. Begitu pula apabila korupsi dapat dilakukan, seseorang itu tidak dapat merasakan kebahagiaan sejati didalam hatinya.Â