Mohon tunggu...
Ananda Alifah
Ananda Alifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang Berwisata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Bandung Lautan Api

28 April 2024   13:54 Diperbarui: 28 April 2024   13:54 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bandung Lautan Api adalah peristiwa pengosongan dan pembakaran kota Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan sebagai markas pasukan Sekutu dan Belanda (NICA). Peristiwa heroik ini terjadi tanggal 23 Maret 1946 dan dianggap sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa bumi hangus atas kota Bandung dianggap merupakan tindakan tepat karena kekuatan Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama rakyat pada waktu itu tidak akan sanggup melawan kekuatan musuh berkekuatan militer lengkap dan lebih modern.

Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari kedatangan pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Panglima AFNEI bernama Jenderal Sir Philip Christison kemudian melakukan tipu muslihat dengan mengakui secara De facto kekuasaan Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Muslihat ini dilakukan agar rakyat Indonesia merasa tenang dan tidak menaruh curiga pada pasukan sekutu yang sebenarnya membonceng pasukan Belanda.

Karena itu, Tentara Sekutu mendapatkan izin dari pemerintah pusat di Jakarta untuk memasuki kota Bandung. Pada 12 Oktober 1945, pasukan Sekutu dipimpin oleh Panglima Brigjen MacDonald tiba di stasiun Bandung. Untuk menghindari serangan tidak terduga dari para pejuang, pemerintah Republik Indonesia mengusulkan kepada Panglima Sekutu bahwa kedatangan mereka ke Bandung haruslah melalui kereta api istimewa dan dikawal oleh sepasukan TKR di bawah pengawasan dari seorang utusan pemerintah pusat. Usulan ini kemudian disetujui oleh Panglima Sekutu. Kedatangan tersebut disambut oleh pejabat daerah setempat beserta rakyat sambil membawa bendera merah putih kecil-kecil di pinggir jalur kereta api. Pasukan Sekutu kemudian ditempatkan di beberapa gedung di Bandung Utara serta beberapa hotel di Bandung Selatan, antara lain Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, dan Hotel Braga.

Setelah menduduki kota Bandung, terbukti bahwa Jenderal Sir Philip Christison ingkar janji. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya serdadu-serdadu Belanda yang mengenakan seragam Sekutu berkeliaran di dalam kota. Para pejuang memastikannya setelah mereka dipancing untuk berbicara bahasa Belanda. Bahkan, jumlah pasukan Belanda berseragam Sekutu itu dari hari ke hari kian bertambah jumlahnya. Situasi keamanan juga kian memburuk, sebab tentara NICA mempersenjatai mantan anggota KNIL yang dibebaskan dari tawanan Jepang. Mereka segera memancing kerusuhan dengan melakukan provokasi bersenjata.

Untuk memperkuat kedudukannya di Bandung, Sekutu mengeluarkan ultimatum pada tanggal 29 November 1945 bahwa kota Bandung harus dibagi menjadi dua, utara dan selatan dengan batas rel kereta api. Alhasil, para penduduk dari wilayah utara berbondong-bondong mengungsi ke wilayah selatan Bandung. Menanggapi ultimatum itu, para pejuang mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat. Selama bulan Desember 1945 hingga awal tahun 1946, terjadi pertempuran di berbagai wilayah Bandung. Selain itu, banyak pula serdadu India yang melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia, diantaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya. Inggris kemudian menghubungi Kolonel A.H Nasution untuk menyerahkan mereka namun Nasution menolak. Puncaknya, pada bulan Maret 1946, Sekutu Kembali mengeluarkan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar rakyat Bandung meninggalkan kota dengan radius sebelas kilometer.

Atas dasar ultimatum tersebut pada tanggal 23 Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution selaku Komandan Divisi III TRI memerintahkan evakuasi Kota Bandung bagian selatan. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung meninggalkan kota. Meskipun Bandung harus dikosongkan, namun penarikan mundur itu disertai dengan pembakaran gedung-gedung penting sehingga tidak dapat dipakai oleh pasukan Sekutu sebagai markas strategis militer.  

Sembari membumihanguskan kota, para pejuang tetap melakukan perlawanan. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, di mana terdapat gudang amunisi milik tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Mohammad Toha dan Moh. Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakyat Indonesia) gugur setelah berhasil menghancurkan gudang amunisi tersebut dengan dinamit. Pada pukul 24.00 malam itu, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI, sementara kebakaran melanda seluruh kota dan terlihat seperti lautan api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun