Mohon tunggu...
Ananda Ugracena Dharmayoga
Ananda Ugracena Dharmayoga Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA

Pelajar SMA yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya "Menyama Braya" dalam Masyarakat Bali yang Multikultural bagi Generasi Milenial

28 Agustus 2020   17:18 Diperbarui: 28 Agustus 2020   17:22 2426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan antar individu mulai berubah dari yang semula saling berinteraksi secara langsung, kini mulai banyak yang  beralih menjadi berinteraksi melalui media sosial. Hal tersebut dialami oleh generasi milenial yang lahir setelah generasi X atau mereka yang lahir diantara tahun 1980 hingga tahun 2000an. Dengan kata lain, generasi milenial adalah mereka yang memikiki rentang usia 17 hingga 37 tahun. Generasi milenial sangat dekat dengan teknologi sehingga kontak sosial secara langsung dengan orang lain jarang dilakukan. Kaum milenial lebih sering bersosialisasi dengan orang lain secara online.

Kebiasaan ini sangat berpengaruh dengan lunturnya budaya menyama braya yang sudah mengakar bagi masyarakat Bali. Menyama braya adalah konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali sebagai filosofi dari karma marga yang bersumber dari sistem nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Bali untuk dapat hidup rukun (desaabiansemal.badungkab.go.id).

Dilansir dari balebengong.id, menyama braya mengandung makna persamaan dan persaudaraan serta adanya pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara, sedangkan menurut kulkulbali.co menyama braya memiliki makna bahwa semua orang merupakan saudara atau keluarga. Menyama braya disini memiliki makna plural, yakni menghargai perbedaan dan menempatkan orang lain sebagai kelaurga. Kearifan lokal inilah yang mmebawa nama masyarakat Bali sebagai masyarakat yang ramah di mata dunia.

Banyaknya kegiatan upacara keagamaan dan tradisi di Bali menjadi salah satu alasan budaya menyama braya tumbuh subur ditengah masyarakat Bali. Kegiatan sosial seperti kerja bakti mengelola sistem pengairan sawah yang dikenal dengan istilah subak adalah salah satu contoh dari pelaksanaan budaya menyama braya.

Dalam bidang keagamaan, upacara pembakaran mayat atau yang disebut dengan upacara ngaben adalah salah satu implementasi dari budaya menyama braya. Kegiatan keagaaman dan tradisi yang memerlukan banyaknya tenaga dan biaya akan menjadi ringan dengan dijalankannya budaya menyama braya.

Masyarakat Bali dalam menghayati budaya menyama braya mengibaratkan bahwa kehidupan sosial yang plural dalam relasinya itu ibarat sebuah pohon. Akar pohon diibaratkan sebagai Tat Twam Asi (Aku adalah kamu : manusia pada hakikatnya adalah satu), batangnya adalah fasudewam khutumbhakam (kita semua adalah keluarga), menyama braya adalah cabangnya, sedangkan daun, bunga, dan buah adalah kerukunan. Sebagai manusia pada hakikatnya kita tergantung pada segala aspek kehidupan, baik hubungan kita dengan Tuhan, dengan sesama manusia, serta hubungan dengan makhluk hidup lainnya. Khusus untuk hubunga dengan sesama manusia hendaknya kita memegang kunci untuk hidup berdampingan secara damai dan saling toleransi.

Budaya menyama braya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali sejak jaman dulu. Penerapan budaya ini tidak hanya terbatas pada sesama umat Hindu saja tetapi juga berlaku untuk semua umat non Hindu. Budaya menyama braya menjadi salah satu kunci keberhasilan toleransi dalam beragama di Bali.

Budaya menyama braya dalam masyarakat Bali tidak pernah lekang dimakan waktu dan tidak pernah usang dimakan zaman. Akan tetapi, perubahan zaman yang semakin modern menyebabkan budaya menyama braya mulai sedikit ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Perubahan itu tidak terlepas dari beberapa faktor yang terjadi pada masyarakat Bali secara pribadi maupun kolektif. Faktor yang mempengaruhi berasal dari faktor internal maupun faktor eksternal.

Salah satu contoh faktor internal yang mempengaruhi mulai lunturnya budaya menyama braya adalah perubahan mata pencaharian penduduk di Bali dari agraris berubah menjadi jasa dibidang pariwisata. Budaya agraris yang semula menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali dengan ritme kerja yang teratur, tenang, ramah, dan santun, sekarang mulai sedikit berubah menjadi gaya hidup yang konsumtif dan mengarahpada pandagan rasionalitas ekonomi yang sering membuat orang menjadi lebih individualisme.

Faktor eksternal yang menyebabkan sedikit ditinggalkannya budaya menyama braya adalah tuntutan pekerjaan yang semula mayoritas masyrakat bekerja sebagai petani atau berwirausaha didaerah masing-masing menjadi pekerja yang bergerak disektor pariwisata yang menuntut masyarakat untuk meninggalkan daerahnya menuju daerah yang berkembang pada sector pariwisatanya. Kepindahan ini menyebabkan banyak budaya Bali yang semula dapat dengan mudah diikuti oleh masyarakat menjadi sebuah beban bagi masyarakat yang tidak tinggal di daerah aslinya. Hal ini menjadi salah satu faktor mengapa kaum milenial banyak yang merasa budaya menyama braya menjadi sebuah beban dan hambatan dalam mengembangkan karirnya.

Bagi generasi milenial, perubahan gaya hidup ikut andil dalam berkurangnya pelaksanaan budaya menyama braya. Kaum milenial cenderung lebih memilih bersosial secara online dengan pertimbangan lebih hemat waktu, tenaga, dan lebih efisien. Kesibukan yang semakin menumpuk membuat budaya menyama braya dirasa menjadi beban bagi kaum milenial. Tetapi, pada dasarnya budaya menyama braya tidak dapat digantikan dengan kecanggihan teknologi. Banyak kegiatan bermasyarakat yang hanya bisa dilakukan dengan interaksi secara langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun