Tiba-tiba nada-nada perkusif di atap rumah tidak indah lagi,rintik ritmis gerimis telah berganti labrakan hujan deras dan angin kencang, gelegar Guntur tetap saja mengejutkan walau awalnya ada ada tanda aba-aba kilatan cahaya.
Dewi istriku masih di meja kerjaku menyandarkan punggungnya di kursi ,dua tangannya memegang buku , dari wajahnya ia terlihat hanyut dalam bacaanya.
Hujan deras masih mengguyur kota kecil ini,dan rintik merdu sejak sore tadi hingga hujan deras dan angin kencang malam ini tentu telah membasahi dan membuat kuyup seluruh kota. Istriku cukup senang hari ini karena dari pagi hingga sebelum sore panas matahari melimpah ruah dan langit cerah telah membuat baju-baju yang ia jemur tadi pagi sudah kering,hingga ia cukup mensyukuri dan tak menyesali gerimis hingga hujan ini .
Ia telah tenang dan mampu melakukan banyak hal hari ini,padahal hampir dua hari ia terus saja menangis karena ulah dua orang lelaki yang ia cintai. Aku dan si Alfi anakku membuatnya tak tenang dan membuatnya memendam kesedihan mendalam,tapi sejak kemaren siang air mukanya sudah tak mendung lagi,dan air mata yang membuatku pilu tak lagi bersimbah di pipinya.
Alfi datang empat hari yang lalu pulang dan tiga malam kemarin sebelum anakku itu kembali ke kota tempatnya kuliah, Putra kesayangan kami itu mengucapkan kata-kata yang membuat istriku terguncang dan hanyut dalam kesedihan,dan ia semakin sangat sedih lagi ketika aku hanya bereaksi datar dengan ucapan-ucapan anakku.
Alfi anakku semata wayang itu dalam obrolan di meja makan ia mengatakan dengan berapi-apai bahwa sekarang ia tak ingin menjadi orang munafik ia tegas mengatakan tak lagi percaya Tuhan dan ia Atheis
Saat itu Dewi hanya diam ia melihat ke arahku,menunggu apa yang aku katakan. Tapi ia menjadi marah karena aku hanya diam. . Dewi bangkit dari kursi dan menampar wajah Alfi,kemudian ia murka, Anak kami satu-satunya itu di suruh untuk menjaga omongannya dan bertobat.
Aku melerai dan menyuruh Alfi istirahat, Aku sendiri membawa Dewi masuk ke kamar. Dia masih marah ketika aku menenangkanya dan membawanya ke kamar ia menyalahkan sikapku yang hanya diam,dan menuntutku mengingatkan keyakinan Alfi yang salah Alfi,tapi aku hanya mampu berkata lebih baik di biarkan saja .
Malam itu juga Alfi berpamitan dengan memberi pesan di pintu lemari es dan kembali ke tempat kuliahnya tanpa berpamitan langsung dan mencium tangan kami, Dewi semakin marah pada Alfi,marah padaku,marah pada dirinya sendiri dan selalu meluapkannya dalam tangis.
Hingga malam tadi aku memegang pundaknya,kemudian mengatakan alasanku,
“ Ibu ingin mendengar apa alasan mengapa Bapak memilih diam,”
Ia hanya menganguk dalam sengguk..
“Bu Biarlah Alfi mencari dan melakukan apa yang sekarang ia yakini, Agama dan Tuhan mungkin terlalu tidak masuk akal baginya, kita harus pahami bahwa ia dalam masa pencarian, kalau Ibu takut bahwa anak kita akan dianggap murtad oleh Tuhan, yakinlah Bu Tuhan itu maha tahu, Alfi belum benar-benar memiliki Agama,sejak kecil kita mengajarkannya dan kita yang memilihkannya,kita yang mengajaknya, kita biasa memaksanya, Ibu tentu paham ada saat-saat seperti ini, Alfi tak beragama dan bertuhan sekalipun ini adalah keyakinan yang saat ini dia temukan,ia tidak akan menjadi kafir,karena kafir adalah orang yang ingkar terhadap keyakinan yang dia percayai, dan Alfi tidak menjadi kafir karena memilih tak beragama karena ia tak yakin. Biarlah ia mencari dan mencari,kita tak salah mendidik anak kita,kita sudah berusaha memberikan pelajaran tentang apa yang kita yakini, Alfi pasti lagi melihat Agama dan Tuhan sesuatu yang malah membuat orang lain terjebak dalam ketidakmasuk akalan dan menumbuhkan kebencian antar manusia, biarlah dia meyakini yang sekarang ia yakini,Tuhan maha tahu apa yang ia lakukan, biarlah dia dewasa.”
Dewi mendengarkan apa yang ada di benakku tadi malam dengan diam,kemudian ia tertidur membelakangiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H