Dalam beberapa kasus, Chat GPT dapat menjadi pengganti langsung guru dalam memberikan penjelasan atau membantu siswa dengan tugas-tugas akademik. Hal ini dapat menyebabkan kecenderungan siswa untuk menjadi pasif dalam pembelajaran. Mereka mungkin mengandalkan Chat GPT untuk menyelesaikan pekerjaan mereka tanpa berpikir secara aktif atau berinteraksi dengan sesama siswa.
Guru harus berperan aktif dalam memandu pembelajaran dan memastikan siswa terlibat secara aktif. Pendekatan pembelajaran kolaboratif dan interaktif seperti diskusi kelompok, proyek berbasis tim, dan kegiatan praktik langsung harus didorong. Selain itu, pendidik dapat memanfaatkan teknologi dengan bijaksana, seperti menggunakan Chat GPT sebagai alat bantu untuk memperluas pemahaman siswa, bukan sebagai pengganti guru.
Dalam dunia pendidikan, meskipun Chat GPT memiliki kemampuan yang mengesankan, kita tidak boleh mengabaikan dampak negatifnya. Ketidakmampuan siswa dalam melakukan analisis kritis terhadap informasi yang diberikan oleh Chat GPT dapat merusak kemampuan mereka dalam membedakan antara informasi yang valid dan tidak valid.Â
Selain itu, ketergantungan siswa pada Chat GPT untuk menyelesaikan tugas-tugas menulis dapat mengurangi pengembangan keterampilan menulis secara mandiri.Â
Selanjutnya, jika Chat GPT digunakan sebagai pengganti langsung guru, siswa dapat menjadi pasif dalam pembelajaran dan kehilangan interaksi sosial yang penting.
Dalam menghadapi dampak negatif Chat GPT, penting bagi kita untuk menemukan keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pembangunan keterampilan manusia.Â
Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa teknologi tetap menjadi alat yang berguna dalam pendidikan, sambil mempertahankan pentingnya pengembangan keterampilan kritis, literasi digital, kolaborasi, dan interaksi sosial bagi siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H