Pada artikel kali ini, saya akan membahas mengenai permasalahan pada pemukiman kumuh khusus nya di daerah Kota Bandung. Seperti kita ketahui bahwa kota Bandug merupakan kota wisata, kota dimana menjadi objek kunjungan bagi wisatawan baik luar negri atau pun dari Indonesia itu sendiri. Nah, lantas apakah kota Bandung sudah dikatakan baik untuk tata kota atau pun tata wilayah nya. Dalam pertumbuhan permukiman kumuh merupakan sebuah tantangan urbanisasi saat ini. Permukiman yang kumuh ditandai dengan keterbatasan infrastruktur dasar dalam permukiman, salah satunya adalah tidak tersedianya infrastruktur pengelolaan persampahan yang memadai selain itu juga kurang perhatian pemerintah mengenai operasional drainase, integrase limbah kota dengan IPAL, layanan air bersih serta ketersediaan air baku juga menjadi perhatian. Kota Bandung juga sebagai bagian dari kota metropolitan yang tidak luput dari tantangan ini.
Kota Bandung diketahui memiliki wilayah kumuh terbesar di Provinsi Jawa Barat. Dari total 151 kelurahan yang ada di Kota Bandung, terdapat 121 kelurahan yang masuk kategori kumuh. Menurut SK Walikota Nomor 648/Kep.286-distarcip/2015 diketahui bahwa kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai 1.457,45 hektare yang tersebar di seluruh daerah. Ada 3 daerah yang memiliki wilayah kumuh yaitu Kelurahan Tamansari (kumuh berat), Kelurahan Babakan Ciamis (kumuh sedang), dan Kelurahan Cihaurgeulis (kumuh ringan). Terdapat sebuah fenomena yang mencuri perhatian pemerintah yakni urbanisasi. Urbanisasi merupakan perpindahan masyarakat dari pedesaan ke wilayah perkotaan sehingga memiliki harapan bahwa perekonomian kehidupan nya jauh lebih baik. Namun pada kenyataannya hal itu belum tentu terjadi bahkan banyak yang justru terjebak dengan hiruk pikuk kehidupan di perkotaan. Sehingga terjadi banyak kesenjangan sosial pada masyarakat. Namun demikian, pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat tidak diiringi dengan kemampuan pemerintah kota dalam menyediakan fasilitas bermasyarakat. Hal ini kemudian yang menyebabkan tumbuhnya permukiman kumuh.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Bandung, pada tahun 2018 Kota Bandung memiliki 2.452.179 penduduk. Jumlah ini meningkat pada tahun 2019 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,01 sehingga menjadi 2.480.464 jiwa. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar ialah Kecamatan Babakan Ciparay dengan jumlah penduduk sebesar 137.077 jiwa. Sementara itu, Kecamatan Cinambo menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil yakni sejumlah 24.812 jiwa. Adapun kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi ialah Kecamatan Bojongloa Kaler di mana kepadatan penduduknya mencapai 39.572,76 jiwa per km2. Secara umum, status kepemilikan bangunan tempat tinggal di Kota Bandung dapat dibedakan menjadi tiga yaitu milik sendiri, sewa/kontrak, dan lainnya. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri pada tahun 2018 sebesar 74,16% dan kemudian meningkat pada tahun 2019 menjadi 78,87%. Sementara itu persentase status kepemilikan bangunan tempat tinggal sewa/kontra dan lainnya mengalami penurunan. Kota Bandung diketahui memiliki wilayah kumuh terbesar di Provinsi Jawa Barat. Dari total 151 kelurahan yang ada di Kota Bandung, terdapat 121 kelurahan yang masuk kategori kumuh. Menurut SK Walikota Nomor 648/Kep.286-distarcip/2015 diketahui kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai 1.457,45 hektare yang tersebar di seluruh daerah. Jika ditinjau klasifikasi tingkat kekumuhannya, permukiman kumuh dengan tingkat kekumuhan tinggi terdapat pada lima kecamatan yakni pada Kecamatan Astana Anyar, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kecamatan Bandung Wetan, Kecamatan Kiaracondong dan Kecamatan Sumur Bandung. Dalam RDTR Kota Bandung Tahun 2015-2035, terdapat beberapa permukiman kumuh yang ditetapkan sebagai Sub Sub Wilayah Kota (SWK) yang diprioritaskan penanganannya. Permukiman kumuh tersebut berlokasi di SWK Arcamanik dan SWK Gedebage.
Ada pula beberapa tinjauan mengenai kriteria perumahan kumuh dan permukiman kumuh, selain dari bangunan gedung, jalan lingkungan, ketersediaan air minum, drainase lingkungan serta proteksi kebakaran. Suatu wilayah dikategorikan sebagai permukiman kumuh ketika elemen pengelolaan persampahan di wilayah tersebut tidak sesuai dengan persyaratan teknis nya. Maka elemen-elemen ini juga mencakup tentang prasarana dan sarana persampahan beserta pemeliharaanya serta sitem pengelolahan sampah. Ketika proses urbanisasi tidak sejalan dengan industrialisasi, masyarakat yang berpendapatan rendah terdorong untuk mengisi lokasi-lokasi tidak layak huni sebagai tempat tinggal mereka. Seperti di bantaran sungai, dipinggir rel kereta api ataupun dilokasi pembuangan sampah. Hal ini juga telah diperburuk dengan minimnya kesadaran masyarakat itu sendiri dalam menjaga dan melestarikan kualitas lingkungan huniannya. Seperti halnya dengan tidak adanya instalasi pembuangan dan pengolahan sampah dilingkungan tersebut.
Lalu, apa upaya dari pemerintah dalam menangani kasus permukiman kumuh di wilayah kota bandung ini? Melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016 tentang Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 2 November 2016 : 100-109 102 dan permukiman kumuh adalah upaya untuk meningkatkan kualitas bangunan, serta prasarana, sarana dan utilitas umum. Upaya peningkatan ini dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah dengan menetapkan kebijakan, strategi, serta pola-pola penanganan yang meliputi pemugaran, peremajaan, atau pemukiman kembali.
Selain itu juga melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016 tentang Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, definisi elemen perumahan dan permukiman adalah sebagai berikut: Prasarana perumahan dan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman; Sarana perumahan dan permukiman adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi dan Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian.
Sedangkan pada skala kota, bentuk pengolahan sampah dilakukan secara konvensional dalam bentuk sistem sepanjang rumah tangga sampai tempat pengolahan sampah akhir atau yang disebut dengan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menyebutkan bahwa pengolahan sampah di TPA tidak hanya dilakukan dengan penimbunan karena dapat mencemari air dan lahan serta memiliki potensi kebencanaan. Pengolahan di TPA harus didukung distribusi yang baik, mulai dari sumber sampah yaitu rumah tangga sampai ke tempat pengolahan sampah.
Bentuk pengolahan sampah lainnya adalah pembakaran sampah dengan alat khusus yang disebut Incinerator. Incinerator membakar sampah pada suhu ekstrim tinggi dengan tujuan agar residu sampah yang dihasilkan tidak menjadi polutan. Semakin besar skala pengolahan Incinerator, maka semakin kompleks prasyarat operasi Incinerator agar mesin efektif dalam membakar sampah. Prasyarat ini mencakup hal-hal seperti unit pengelola, jenis sampah, sistem operasi, juga pemeliharaannya. Dalam hal ini, sistem pengelolaan persampahan yang terintegrasi dibutuhkan guna mencapai pengelolaan yang efektif dan produktif.
Selain itu, upaya pemerintah dalam menanggapi permasalahan pada pemukiman kumuh yaitu pemerintah telah melakukan berbagai upaya misalnya melalui Program Kotaku yang telah dilaksanakan sejak tahun 2016. Ketika program Kotaku mulai dilaksanakan, luas kawasan kumuh di Kota Bandung mencapai 1.457 hektare. Dengan Bantuan Dana Investasi (BDI) sebesar Rp53,7 miliar dari pemerintah pusat, Tim Kotaku membenahi kawasan kumuh di Kota Bandung sehingga pada tahun 2017, terdapat 215 hektare kawasan kumuh yang sudah ditangani dan menyisakan 1.242 hektare lagi untuk digarap. Sementara itu, menurut Sekretaris Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung, jumlah Rutilahu yang diperbaiki pada tahun 2017 sebanyak 4.804 unit dari total 14.235 unit yang ada dan kemudian dilanjutkan pada tahun 2018 hingga mampu memperbaiki 3.289 unit.
Selanjutnya juga ada upaya kontribusi pemerintah daerah yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah maupun swadaya masyarakat. Dengan tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung perwujudan permukiman perkotaan yang layak huni,produktif serta berkelanjutan. Sementara itu, Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan, Dicky Saromi mengatakan bahwa wilayah permukiman kumuh yang ditangani oleh Provinsi Jawa barat seluas 629 ha, tersebar di 27 kabupaten dan kota. “Tentunya data ini terus kami update setiap tahu. Wilayah yang sudah dibangun pun harus dimaintenance agar selalu berjalan dengan semestinya. Makanya, kami juga berharap ada nya perna dan upaya dari organisasi masyarakat dalam mengelola unsur yang kita bangun.Seperti air bersih , sumur bor kan harus dikelola dengan baik.” kata dia.