Mohon tunggu...
Anan Surya
Anan Surya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

i do my best!! :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelamin-kelamin

12 April 2012   10:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:42 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jadikanlah aku tulang rusukmu, hingga kita menjadi tulang-belulang...



Bunyi ceret di dapur terdengar begitu nyaring memenuhi seluruh ruangan. Seketika, tercium aroma hangat arabika yang begitu menggugah untuk segera dicumbu. Eliza segera mengantarkan secangkir kopi arabika hangat untuk Wisnu yang masih terlelap, terlentang di atas ranjang dengan setengah telanjang.

Asap kopi yang mengepul, mengembun pada kaca bingkai photo pernikahan mereka berdua, delapan tahun silam. Mereka berdua, yang kini masih berdua. Tanpa anak. Tak heran, jika pada tiap malam, mereka tetap berikhtiar untuk mendapatkan putra-putri yang selalu mereka damba.

Bagi Eliza, keberadaan Wisnu di sampingnya saja sudah lebih dari cukup untuk bisa melelapkan kegundahan hati yang kerap meronta. Satu kecupan mesra di pagi hari, lautan dekapan hangat dan erat yang bertubi-tubi mampu meninabobokan gundah yang hampir berkecamuk. Wisnu adalah bejana emosi bagi Eliza.

***

Telah lebih dari seribu malam, ribuan buliran kasih mengikat Eliza dan Wisnu dalam bahtera mereka berdua, ribuan buliran yang mulai membias terkikis waktu. Jika dulu, Wisnu adalah bejana emosi Eliza, maka kini, Wisnu adalah cambuk beracun bagi hati Eliza. Cambuk yang mengekang dan menjerat Eliza dalam neraka jahanam kepedihan.

Eliza, kini hanya bagai pakaian usang yang tercampakkan dan tak terpakai lagi. Pakaian yang tak pernah lagi melekat pada tubuh kekar Wisnu. Tercampak dan terasing pada lemari terdalam, atau bahkan, hanya digunakan sebagai lap. Bagaimana tidak, berbulan-bulan Wisnu lebih memilih tidur di tempat lain, atau tidur memunggungi Eliza.

Setiap pagi menjadi sangat dingin. Sedingin teralis balkon kamar mereka, yang semalaman terhujani. Tak bereaksi terhadap kepedihan demi kepedihan Eliza, meneteskan sisa hujan semalam. Kembali hening. Asap-asap arabika, telah lesap, hanya dingin tercampakkan, tanpa dicumbu seperti bulan-bulan lalu. Menyisakan samar pada bingkai foto pernikahan mereka delapan tahun silam.

Eliza menyapukan telunjuknya pada kaca bingkai pernikahan mereka. Memoar Eliza kembali pada tahun-tahun silam. Tahun-tahun pertemuannya dengan Wisnu, hingga mereka saling jatuh cinta dan memutuskan untuk bersaksi sehidup semati di depan altar. Eliza mendekap erat bingkai foto pernikahannya, matanya berair, deras tanpa tanda reda.

Malam-malam lalu, adalah surga bagi bathin Eliza. Jiwa dan raganya aman terlindungi, bahkan, tak seekor nyamukpun Wisnu ijinkan untuk menyentuh kulit mulus istrinya. Eliza sangat menikmati perannya sebagai pakaian Wisnu. Damai tak terkira menjalar dalam dadanya. Jika saja, kemarin-kemarin Eliza mampu sepenuhnya membuang masa lalu, kiranya jalaran damai itu takkan hengkang dan menyublim begitu saja.

***

Pagi itu pertengaran hebat terjadi antara Wisnu dan Eliza, setelah selembar foto pria terjatuh dari dompet istrinya. Wisnu geram dan segera meninggalkan Eliza. Eliza menjerit-jerit. Ia menyesal, karena masih menyimpan secercah masa lalunya .

“Dia sudah menjadi masa lalu-ku!!” Jerit Eliza yang tertelan langit pagi. Matanya berair deras. Wisnu tak bergeming. Dingin. Angkuh. Dan terus berjalan mencampakkan Eliza yang kegilaan bersama foto pria tampan dengan senyuman misterius yang dipegang istrinya.

Ia mengerang kencang, lirih dalam tangisan. Meratapi nasib batin yang menganga tanpa dasar untuk dipatri kembali. Bantingan pintu menggelegar seisi ruangan, menelan amarah jiwa yang terbakar. Nurani seakan lesap termakan api, tanpa tanda untuk kembali. Kini ia bak iblis yang siap melempar anak adam ke dasar Jahannam. “Siapa lelaki di foto itu?” teriak Wisnu menyayat hati Eliza. “Dia masa laluku...” diiringi rintih terperih bangsa hawa. “Kenapa masih kau simpan foto itu? Apa kau masih berhubungan dengannya??” Jerit Wisnu melecut nurani siapapun yang mendengar. Eliza berucap tanpa suara. “Jawab wanita jalang!!!” kali ini, satu tamparan ia usapkan pada pipi istrinya. “Dia, dia adalah aku...” ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun