Ini adalah pengalaman yang pernah ku alami ketika masih menginjak bangku sekolah dasar.
Kelas satu SD, sudah menjadi trend anak seumuranku untuk di khitan. Namun hal itu membuatku takut bukan kepalang. Hingga suatu maghrib ...
Saat itu, keluargaku termasuk salah satu dari sedikit keluarga yang sudah memiliki televisi di rumah. Hampir setiap maghrib, beberapa anak kostan dekat rumahku main ke rumah dan ikut menonton tv bersama. Aku memang suka menggambar, saat itu, aku menggambar sesosok wanita cantik di belakang kalender yang polos. Namun memang karena bakatku yang belum terasah, justru wanita yang ku gambar tampak menyeramkan. Hingga seorang anak kost yang lebih sering kupanggil Mbak Pon menanyai tentang kesediaanku di khitan, “Anan, mau kapan disunat?” pikiranku melayang, termasuk memperhatikan gambar wanita yang ku lukis tadi dengan fokus. Sesaat, tampak gambar itu hidup. Lalu kujawab pertanyaan mbak pon tadi “Gag ah, Anan gamau disunat!!”.
Tiba saatnya aku pergi ke kamar mandi, hingga terlihat satu hal aneh... kemaluanku berubah bentuk!!!
“MAMAH... TITIT ANAN KENAPAAAAAAAA????” teriakku pada ibu. Ibu bergegas meghampiriku dan mengecek kemaluanku yang memang sudah berubah menjadi bentuk yang sudah dikhitan rapih dan kering, tanpa ada bekas jaitan. Sempurna.
Berita tentang kemaluanku yang telah berevolusi menyebar dengan cepat ke penjuru perumahan kami saat itu. Banyak warga yang datang dan heran dengan kejadian ini. Makin banyak orang yang datang kepadaku dengan satu tujuan : Melihat tititku. Untuk pertama kalinya, kemaluanku di pamerkan. Dilihat orang-orang satu komplek bahkan lebih. Membuatku merasa menjadi bintang HOT sejak dini. Hingga adzan berikutnya tiba...
Kemaluanku yang sudah dilihat kembali ditutup sehelai samping. Seluruh tetangga yang menyaksikan tititku, belum ada satu-pun yang memberikan uang kadeudeuh. Hingga saat dibuka kembali... (Kalo ada pak Tarno dia bakal bilang "Bin salabim jadi apa.. prok prok prok" ) dan... tadaa... tititku kembali ke bentuk semula!!! Seluruh tetangga-ku terbelalak dan diam seribu bahasa, hingga seorang tetangga kami yang lebih sering kupanggil dengan nama Mamah Adi tiba-tiba berkata di tengah lamunan orang-orang, “Jin nya marah! Jadi sunatan itu dibatalkan!!” Semua orang terkesima dengan ucapannya yang karismatis. Namun tidak disusul dengan cekikikan tawa serupa mak lampir.
Aku dibawa pulang mamah, dan ahirnya liburan caturwulan tiba, hari dimana aku menerima sunat manualku yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H