BEBUNYIAN selalu mencuri perhatian bayi. Bunyi apa saja: tetabuhan, gesekan, hingga sekadar suara kotak kardus yang diseret dan disobek tutupnya. Apalagi jika kemudian bebunyian itu menghasilkan suara yang unik, ritme yang teratur, nada yang harmoni.
Aneka bunyi yang ditingkah gelak tawa bayi yang menggemaskan inilah yang diolah secara kreatif oleh TaBoGeTak – kelompok musik ansambel perkusi asal Jogjakarta yang diawaki Tony Maryana, Daniel Caesar, Wasis Tanata dan I Nyoman Trieswara (a.k.a Buncis). Penampilan mereka yang segar dan banyak mengundang pujian pengunjung ini, merupakan salah satu performa yang menandai pembukaan rumah budaya “roemah 9a” di Cibubur, 8 Juli pekan lalu.
Tampil sebelum TaBoGeTak, JapeMethe Band & PakDe Bambang. Disusul sambutan Komunitas Seniman Cibubur yang diwakili sang inisiator, Haris Purnomo. Yang tak kalah menarik, tentu orasi dari budayawan Radhar Panca Dahana. Radar kembali menggarisbawahi sinyalemen tentang kecenderungan para pekerja budaya yang terbiasa dengan dunia imajiner namun seolah tidak berdaya menghadapi realitas aktual yang ternyata jauh lebih ‘imajinatif’. Kecendrungan ini, menurutnya, karena banjirnya informasi akibat teknologi, sehingga menghasilkan “gegar data”. Pada kesempatan itu, ia mengajak seniman untuk berkarya dengan melakukan identifikasi yang serius atas realitas aktual dan faktual, agar seniman tidak gagal berkarya. “Negara boleh gagal, tapi tidak untuk kebudayaan,” ujarnya. “Karena jika kebudayaan gagal, maka bangsa akan punah.”
Dialog Lintas Seni
Di ranah kebudayaan, “roemah 9a” adalah ‘kantong’ baru di kawasan Jabodetabek. Didirikan dan mengambil markas di studio seni perupa Haris Purnomo di Jalan Bungur Raya 9a, Harjamukti – Cibubur Depok, rumah budaya ini didirikan untuk memfasilitasi dialog lintas seni. Menurut Haris, rumah ini digagas bukan sebagai panggung atau galeri seni, melainkan didedikasikan sebagai ‘ruang keluarga’ yang mempertemukan, mewadahi, mendorong, dan mengembangkan ekpresi, gagasan dan inisiatif, mimpi-mimpi serta potensi dari lintas genre kesenian. Melalui berbagai kegiatan tersebut, diharapkan terbangun iklim dan semangat berkreasi yang dinamis, akrab dan egaliter.
Dalam debutan perdana saat pembukaan “roemah 9a” misalnya, selain performa di bidang musik, orasi kebudayaan, juga ada pameran lukisan dan seni instalasi yang digelar di rumah itu. Menyajikan 6 karya berskala besar, para Komunitas Cibubur yang diawaki Haris Purnomo, Bonyong Munny Ardhie, Bambang Sudarto, Bambang Prasadhi, Tri Sapta Anggoro, Alex Kela, Umbu LP Tanggela, Dirman Saputra, Ibeth, Djoko Triyanto, hendro Pratiknyo, Wahyudi Nugroho, Bambang Sapta, Hari Budiono, Moelyono, Mahdi Abdullah, Ery Fachrizal, Iskandar Surya Putra, Imam Jaswadi; berkolaborasi menampilkan lukisan raksasa dan seni intalasi dengan merespon karya tulis Sindhunata, Prasetyo Hadi, dan almarhum Rendra. Pameran yang dikuratori Jim Supangkat ini menghasilkan eksperimen yang berhasil menjebol sekat-sekat yang membatasi jenis kesenian yang ada. Para perupa Cibubur ini, menurut Jim, seperti ingin menegaskan bahwa seni rupa tidak lebih tinggi (istimewa) dibandingkan seni-seni yang lain. Seni juga adalah sesuatu yang universal.
Bagi yang tidak hadir dalam pembukaan “roemah 9a”, Anda masih bisa menyaksikan pameran yang berlangsung hingga 8 Agustus mendatang. Sebagai salah satu kantong budaya,“roemah9a” tampaknya menjanjikan banyak hal. Tinggal keseriusan para pengelolanya. Jamak kita ketahui, tidak mudah mengelola sebuah komunitas budaya dan membuatnya berumur panjang, kecuali dengan sentuhan manajemen yang memadai.
Selamat untuk “roemah 9a”. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H