Mungkin kita terlanjur salah menamai dunia di sosial media sebagai dunia maya. Padahal ini dunia riil, nyata, dunia yang sebenar-benarnya. Bedanya hanya pada medium/media yg kita gunakan. Selama ini kita bisa jadi berkomunikasi secara langsung, atau melalui telepon, atau media lainnya. Kali ini melalui fesbuk, twitter, instagram, atau path. Selebihnya, tetap sama. Terutama ketika kita bicara dari sisi pelaku, identitas, pesan, etika dan cara berkomunikasi.
Status dan komentar-komentarmu di media sosial adalah cerminan dirimu, pikiran-pikiranmu, sikapmu, tindakanmu. Sekali dua kali, kamu bisa kamuflase, berbohong. Tapi lebih banyak yg muncul justru yang spontan, tanpa rekayasa.
Belakangan ini, sejak pilkada Jakarta menghangat, Beranda menjadi tempat yang menarik untuk menelisik pandangan, sikap dan kepribadian seseorang. Bukan soal dia memihak Ahok atau Anies; tapi soal cara dia menyampaikan keberpihakannya: sumbu panjang atau sumbu pendek, toleran atau intoleran, keras kepala atau terbuka menerima perbedaan, ekslusif atau inklusif, egois atau tidak egois, arogan atau humble, beretika atau kurang ajar; dan sederet karakteristik lainnya.
Sebagai orang yg berkecimpung di dunia SDM; ini menarik buat saya. Seorang kawan pernah berkomentar, saya begitu aktif di media sosial, khususnya fesbuk. Dan saya jawab, ini seperti gedung dengan jutaan kamar yang dilengkapi connecting door. Sebagian besar kamar dibuat dari dinding kaca yang transparan. Bayangkan, sebagian besar SDM di perusahaan saya terhubung dgn saya di fesbuk; dan saya bisa membaca pikiran, sikap dan pandangannya secara spontan. Hal yg sama tentu berlaku sebaliknya: mereka membaca diri saya dengan leluasa.
Artinya apa? Saya lebih percaya apa yg tersirat dan tersurat di akun media sosial, dibandingkan dengan membaca curriculum vitae yang memang sengaja disusun dengan format dan pernyataan terbaik yang pernah dimiliki sang pemilik cv. Di cv, kamu bisa memikirkan baik-baik apa yg hendak ditulis. Di media sosial gak berlaku, karena ada perasaan ego yg demikian tinggi: ini akun pribadi saya, suka-suka saya, dan yang terpenting ini adalah dunia maya!
Ini yang mungkin kurang disadari sebagian orang. Terutama bagi yang sedang mencari pekerjaan atau meniti karir. Bagaimana mungkin pengelola SDM mempercayakan karir atau jabatan setingkat manajer atau pemimpin kepada seseorang yang tidak mampu mengelola perbedaan, bahkan tidak memberi ruang sama sekali bagi pandangan yang berbeda? Atau bagaimana bicara tentang peluang karir yang bagus, jika etika berkomunikasi saja gak dipunyai? Yang menggelikan adalah ada banyak orang yang demikian keras kepala bicara tentang moralitas, tapi di saat yang sama justru bermasalah dari sisi integritas.
Akunmu adalah brand-mu. Kelola baik-baik. Ini sekadar saran saja dari orangtua seperti saya. 😀 Boleh direnungkan, boleh diabaikan.
#AnaDiary
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H