”Ya, mungkin maksudnya, agar belanjanya jangan kebablasan saja,” bela saya. ”Agar masa tua kita tidak menderita. Agar anak kita bisa sekolah dengan baik.”
”Nah, itu dia kuncinya!” Suaranya seperti memenangkan barang lotere. ”Semua saran perencana keuangan bermuara ke sana. Tapi caranya tidak bisa saya terima. Dia menyarankan masa tua yang sejahtera, tapi di masa muda saya harus menekan banyak keinginan, mengencangkan ikat pinggang. Satu rupiah saja ada uang ekstra, pasti disarankan untuk diinvestasikan. Gila aja, emang hidup ini tujuannya ingin jadi kaya aja? Saya mau jadi orang senang. Kalau kaya, tapi gak senang, buat apa? Saya capek cari uang, tapi baru bisa dinikmati saat tua. Kamu tahu ’kan, saat kita tua, keinginan kita juga sudah gak macam-macam!”
Menurutnya, hidup itu harus seimbang. Masa muda tetap bisa gaul, menikmati apa yang ditawarkan dunia. Tapi masa tua jangan sampai merana, dan anak-anak yang ditinggalkan jangan sampai menderita.
”Nah, itu yang ditawarkan asuransi konvensional,” serunya. ”Preminya kecil, uang pertanggungannya besar. Kamu berumur panjang atau tidak, masa tua dan keuangan anakmu terjamin. Alokasikan sebagian kecil penghasilanmu untuk membayar premi asuransi berbasis proteksi. Mungkin hanya berkisar 5-10% dari penghasilanmu. Lalu bayar cicilan rumah dan kendaraan. Sisanya, gunakan secara fleksibel sesuai prioritas: untuk tabungan, investasi, dan membeli semua yang kamu inginkan saat ini – makan di restoran, nonton, jalan-jalan, belanja, beramal ke fakir miskin, dan semua yang asyik-asyik...”
Saya termangu, berusaha mencerna semua sarannya. Mungkin Anda setuju. Atau justru sebaliknya? Yang setuju, silakan ngetwit saya di @anamustamin. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H