INI obrolan sesama perempuan. Laki-laki dilarang nimbrung. Siang itu, entah dari mana bermula, kakak saya tiba-tiba bergosip-ria. ”Kamu tahu ’gak, laki-laki yang berprofesi sebagai perencana keuangan keluarga rata-rata jomblo!” Suaranya jenaka.
Saya terbeliak. Hei, ini berita baru. ”Serius? Bukankah seharusnya mereka banyak fans? Mereka cerdas mengatur keuangan. Mereka pasti memiliki banyak investasi, kaya. Banyak lho perempuan yang memburu lelaki berdompet tebal!” Saya mencecarnya. Separuh heran, separuh protes.
”Kaya tapi pelit, untuk apa?” Tukasnya.
”Bukan pelit, tapi hemat!” Saya meralat.
”Apa bedanya?”
Ya, bedalah. Pelit lebih mengacu ke kata sifat, berkonotasi negatif. Sementara hemat mengacu kepada perilaku yang terencana, terkontrol – sebuah kebiasaan positif.
Tapi bagi kakak saya, pelit dan hemat sama saja. Jika seorang suami pelit atau terlalu hemat, maka bisa dipastikan pasangannya akan menderita. Sama-sama membuat istri tidak bisa mengeluarkan uang seenaknya. Belanja dibatasi, makan dibatasi, jalan-jalan dibatasi.
Untuk meyakinkan saya, ia lalu meraih teleponnya, menunjukkan twit seorang perencana keuangan, ”Diskon 70% memang bisa bikin otak dan mata jadi siwer. Ingat-lah bahwa baju dan sepatu Anda sudah cukup banyak di rumah.” Lalu, ”Jika ingin jalan-jalan ke mal, pilih setelah makan siang di rumah. Anda tidak usah makan di restoran. Lebih hemat.”
Saya tertawa. Apa yang salah? Tapi tunggu, mungkin kakak saya ada benarnya. Hidup yang tertib dan terencana itu baik, ujarnya. Tapi terlalu tertib dan terencana, menurutnya kurang baik. ”Kamu tahu ’kan, salah satu nikmatnya jalan-jalan di mal, ya karena bisa makan di restoran itu. Salah satu nikmatnya belanja, ya saat menemukan barang bagus dengan diskon 70% itu.”
Hidup ini, katanya, tidak boleh berjalan datar-datar saja. Hidup harus ada kejutan, harus ada sesuatu yang di luar perkiraan kita, ada misteri, ada teka-teki. Karena dengan cara itu hidup kita berwarna. Karena ada kecemasan, kita membangun harapan, antusiasme, optimisme. Karena sesekali dompet kita menipis, kita berpikir kreatif bagai-mana agar pundi-pundi itu berisi. Salah satu yang menyemangati kita untuk bekerja dan mencari uang sebanyak-banyaknya, karena – salah satunya – ingin dibelanjakan.
Perencana keuangan, menurutnya, terlalu kalkulatif. Semua diperhitungkan dengan rinci. Penghasilan sebulan langsung dibagi habis. Sekian untuk tabungan, sekian untuk investasi, sekian untuk bayar tagihan, sekian untuk belanja sehari-hari. Sekian untuk kebutuhan primer, dan sekian untuk sekunder. Prosentasinya tidak bisa dibolak-balik. Tidak bisa dijungkirbalikkan. ”Nggak seru! Terlalu tertib. Memangnya saya robot?”