Mohon tunggu...
Ana Mustamin
Ana Mustamin Mohon Tunggu... -

ibunda #sakti. wira-wiri antara rumah dan kantor. menulis di sela-sela kesibukan. menulis untuk berbagi, follow me on twitter @anamustamin.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

300 Menit Menjadi Guru SD

21 Februari 2013   06:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:57 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAPAN terakhir saya bercakap-cakap dengan anak kecil yang masih duduk di bangku kelas 2 SD? Pagi tadi, tentu. Sebelum Sakti – anak tunggal saya – berangkat sekolah. Sambil berpakaian, ia biasanya masih berceloteh tentang film kartun yang ditontonnya, atau varian dinosaurus dan aneka mainan lego. Dan saya atau ayahnya akan jadi pendengar yang baik, hingga akhirnya kami terlibat obrolan layaknya orang dewasa yang bicara tentang politik.

Tapi jangan membayangkan interaksi semudah itu jika Anda berhadapan dengan 45 murid di ruang kelas 2 Sekolah Dasar negeri! 45 kepala dengan 45 karakater dan tingkah laku. Di antara mereka, ada yang hobi banget teriak-teriak, ada yang usil hingga membuat kawan sebangkunya menangis, ada yang berdiri atau berbaring di bangku, dan yang terus bergerak lincah seperti bola bekel ….

Di depan bocah seperti inilah saya berdiri sebagai pengajar, pada Rabu 20 Februari kemarin. Tanpa pengeras suara, tanpa alat bantu proyektor. Sejumlah teman yang terlibat dalam kegiatan yang sama, sebetulnya berinisiatif membawa peralatan yang saya sebut terakhir. Tapi saya memilih untuk tidak. Semata-mata, karena saya ingin betul-betul menjiwai apa yang dilakukan guru-guru Sekolah Dasar negeri sehari-hari.

1361426974576679895
1361426974576679895
Dan inilah yang mengawali pengalaman saya sebagai relawan di “Kelas Inspirasi”. Pengalaman yang menantang dan tak terlupakan, tentu. Meski memiliki jam terbang yang cukup sebagai pembicara publik – lebih dari 4 tahun bekerja sebagai penyiar radio; menjadi dosen, trainer, dan pembicara di sejumlah kesempatan, serta memilih bidang komunikasi sebagai latar akademik; semua itu tidak cukup memadai untuk menandingi kepiawaian para guru-guru sekolah dasar dalam menaklukkan proses belajar-mengajar di kelas. Mengajar anak-anak di kelas rendah di sebuah sekolah dasar negeri, dengan nol pengalaman, dengan peralatan yang serba terbatas; sungguh bukan pekerjaan mudah. Suara saya sampai serak. Otak saya jumpalitan mengerahkan semua akal untuk menaklukkan ‘hiruk-pikuk’ kelas yang mirip pasar. Saya kira, teman-teman saya sesama profesional yang tergabung dalam Kelompok 40 Kelas Inspirasi pun mengalami hal yang sama. Bahkan, di antara mereka, mungkin ada yang menandai peristiwa ini sebagai pengalaman pertama mengajar.

Inspirasi Profesional

Kelas Inspirasi merupakan salah satu program yang digagas oleh yayasan Indonesia Mengajar. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewadahi profesional dari berbagai sektor untuk ikut serta berkontribusi pada misi perbaikan pendidikan di Indonesia. Melalui program ini, para professional pengajar yang terpilih dari berbagai latar belakang diharuskan cuti 1 hari secara serentak untuk mengunjungi dan mengajar Sekolah Dasar, pada Hari Inspirasi yang ditentukan.

1361427121206749393
1361427121206749393
Khusus tahun ini, Hari Inspirasi itu jatuh pada Rabu, 20 Februari 2013. Saya, bersama-sama dengan 11 profesional lainnya di Kelompok 40 - Aditya Arnoldi, Cynthia Gunawan, David Irianto, Dono Christanto, Farida Peranginangin, Fauzan Zamahsyarie, Heidi Wibawa, Kindy Marina, Patricia Wahyu Haumahu, Sendi Fardiansyah, Sitta Farida Abdullah, dibantu fotografer Babam Bramaditia – ditugaskan mengajar di SDN Pasar Manggis 01 Pagi, Jakarta Selatan.Selain di Jakarta, program ini juga berlangsung serentak di beberapa kota di Indonesia.

Apa yang menarik sehari berinteraksi dengan anak-anak SD negeri ini? “Yang pasti, seru! Ternyata mengajar anak kecil itu susah!” hampir semua anggota kelompok saya menyepakati kalimat ini. Lainnya, tentu rasa antusiasme lantaran ini pengalaman baru. Menyaksikan anak-anak bermata polos dengan aneka cita-cita dan mimpi, menerbitkan rasa haru tersendiri.

Pengalaman lucu, tentu juga ada. Aditya yang agaknya paling ‘imut’ di kelompok kami, bahkan sempat jadi ‘seleb’ sejenak lantaran terus dimintai foto bareng dengan bocah-bocah lucu itu. Saya sendiri, yang memperkenalkan profesi “penulis cerita” (lantaran merasa profesi Corporate Communication yang pernah jadi profesi saya, atau pimpinan lembaga pendidikan, masih cukup rumit diperkenalkan pada anak-anak Sekolah Dasar), cukup surprise dengan sambutan mereka. Mereka merubung buku-buku dan majalah yang memuat tulisan-tulisan saya. Termasuk menatap tanpa kedip sejumlah majalah dan koran yang memuat profil saya. “Saya ingin seperti ibu!” seru mereka antusias. Di kelas 5, tempat saya terakhir mengajar, murid-murid perempuannya tanpa sungkan memeluk pinggang saya, menggenggam dan mengayun-ayunkan tangan saya sembari meminta buku yang saya tulis. Sayangnya, buku itu tidak bisa saya bagikan, karena itu bacaan orang dewasa. Tapi sebagai ganti, saya berjanji akan membawakan buku-buku dongeng untuk anak-anak.

13614270197842905
13614270197842905
Hingga saya di perjalanan pulang, interaksi dengan mereka terus berlangsung. Facebook saya di-add, twitter saya di-follow. Atikah menelpon dan mengirim sms, “bu, saya anak sdn pasar manggis 01 yang tadi minta buku ke ibu atikah kelas 5 aku mau tanya ibu aku ingin jadi penulis cerita tapi aku ga tau cara daftarnya? Oh ya ibu apa sih zodiak ibu?” Nawal Namira menulis di twitter, “pengen jd penulis kaya @anamustamin. Time for bikin dongeng skrng. dari pada gk ada kerjaan bsk masukin email deh mudah2an dimuat y crt nya??” dilanjutkan, "kita pakai kertas biasa atau pakai koran bu?" Duhhh, membaca pesan dan kepolosan mereka, benar-benar membuat saya kehilangan kata….

Di luar itu, saya mau tidak mau ‘dipaksa’ untuk mengenang kembali jasa guru SD saya, terutama saat di kelas 1 dan 2. Tak pernah terbayangkan sebelumnya betapa luar biasanya kesabaran, kegigihan, kasih sayang dan dedikasi mereka. Di meja makan pada Rabu malam itu, saya berbagi cerita dengan ibu kandung saya yang kini berusia 77 tahun, dengan perasaan yang sulit saya lukiskan. Membayangkannya kembali berdiri dan menyeru di depan kelas, sementara saya bergerak seperti bola bekel… Yup, ibu saya adalah guru saya di kelas 1 SD!!! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun