APA yang membedakan Ramadhan dengan hari biasa? Banyak. Inilah saatnya kita menyaksikan beduk, menara dan kubah masjid berpindah ke dalam mall. Diletakkan di tengah lantai marmer, menjulang tinggi menyentuh langit-langit, dihiasi kertas warna-warni, menjadi ornamen pelengkap butik dan gerai. Setiap menjelang jam istirahat kantor, para pekerja – terutama kaum ibu – mamatut wajah dan dompet, bergegas memencet tombol lift, adu cepat meninggalkan ruang kerja, dan kemudian berhamburan di sela menara dan kubah masjid imitasi ini. Ramadhan pertanda ambang Idul Fitri. Dan sebentar lagi kita – suami/istri, anak-anak, orangtua, mertua, saudara, supir, pembantu – membutuhkan baju baru, kerudung baru, celana baru, sajadah baru, sepatu baru, semua yang serba baru ... Apa yang membedakan Ramadhan dengan hari biasa? Banyak. Inilah bulan dimana malaikat kerap bersenandung. Saat dimana umat muslim menahan lapar, haus, amarah, nafsu, dan semua perilaku buruk lainnya. Saat dimana air wudhu semakin sering menyentuh ubun-ubun, mendinginkan pikiran dan jiwa. Saat sajadah semakin sering digelar – di sepanjang shaf di antara tiang masjid, di celah meja kerja, di sela gedung pencakar langit, di layar-layar televisi, di lipatan koran dan majalah, di bandara dan stasiun kereta, di balik teralis penjara, di bedeng penampungan tunasusila, di segenap penjuru kota. Di saat-saat seperti ini, adzan yang menyeru tak lagi kesepian – seperti hari-hari lewat ketika petang melindap di Jakarta. Meskipun ruas-ruas jalan tetap macet, tugas-tugas di kantor tetap membelit, jam-jam meeting tetap diagendakan secara ketat, tapi antrian mobil menyemut di halaman masjid. Teman-teman saya yang biasanya tak pernah absen nongkrong di cafe selepas jam kerja, kini sibuk mencari Tuhan. Seperti menemukan kegairahan baru, para eksekutif muda ini mengikuti diskusi dan pengajian yang digelar di hotel berbintang, di pusat-pusat studi pendalaman Islam. Suara mereka kerap terdengar mengalun, mengumandangkan dzikir dengan lirih, menghitung tasbih lamat-lamat. “Semakin sadarkah kita akan makna keimanan?” Seorang teman berbisik di dekat kuping saya – mencecar pertanyaan – di sela suara ustaz. “Inikah cara membasuh kaki yang kotor akibat langkah yang tak berkiblat? Inikah cara berlabuh bagi hati yang terasing di antara belantara gemerlap duniawi? Atau semata sebuah tren? Seperti mengenakan gamis di bulan puasa setelah sebelas bulan sebelumnya mengumbar pusar?” Aduh. Saya tak berani menjawab. Tapi, dalam hati membatin, siapa yang bisa membaca pikiran orang lain? Dan apakah relevan menjawab mereka sungguh-sungguh melakukan ibadah atau sekadar ikut-ikutan? Lagipula, jika ini memang sebuah gairah baru, mengapa tidak kita biarkan tetap meletupkan nyala? Tidakkah Tuhan menyiapkan berjuta pintu untuk sampai ke halaman-Nya? Adakah bedanya bagi Tuhan ketika kita telah berniat menegakkan tiang-tiang ibadah kepada-Nya, akan dimulai dengan simbol dan ritual, atau langsung menyentuh substansi? Bagaimana membedakan keduanya? Sayang, saya bukan ahli agama. Jadi, pertanyaan-pertanyaan itu saya biarkan saja. Tapi setidaknya, saya belajar untuk tidak menaruh syak-prasangka. Kerapkali, tanpa sadar, kita menilai berdasarkan parameter sendiri. Atau menilai hanya dari permukaan. Kita mungkin menganggap bahwa air bening lebih bersih ketimbang debu. Tapi ketika kondisi mengharuskan kita bersuci dengan cara tayamum, siapa mengira di balik debu yang menutup mata, kita justru menemukan kesucian sejati? Apa yang membedakan Ramadhan dengan hari biasa? Banyak. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H