Mohon tunggu...
Ana Muflihatun
Ana Muflihatun Mohon Tunggu... Penulis - Collegian

Bismillahirrohmanirrohim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah

27 Oktober 2020   15:00 Diperbarui: 25 Mei 2021   12:29 5603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenali lebih jauh perihal Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah. | pexels


Salah satu dasar pijakan epistemologi mengenai pembagian hukum tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para imam hadis Kutub Al-Sittah, di mana Rasulullah SAW pernah bersabda : "Sesungguhnya aku hanyalah manusia dan sesungguhnya kalian bertengkar (untuk mengaadukan persoalan hukum) kepadaku. Mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumentasi dibanding yang lainnya, sehingga aku memutuskan hukum yang cenderung menguntungkan kalian sesuai dengan informasi (bukti-bukti material) yang saya dengar.  Maka barang siapa yang aku putuskan hukum untuknya, dengan merugikan hak muslim yang lain, sesungguhnya hal itu merupakan potongan dari api neraka, maka silahkan mengambilnya atau meninggalkannya."


Salah satu faktor munculnya kategori sifat seperti itu adalah karena syariat itu merupakan wahyu Allah yang menjanjikan pahala dan siksa akhirat.  Syariat itu adalah sistem undang-undang yang bersifat ruhiyyah sekaligus badaniyyah (badan).  Karena ia datang untuk kebaikan dunia dan akhirat atau agama dan dunia.
Implikasi dari pembagian hukum tersebut misalnya tampak dalam masalah talaq (cerai), sumpah, hutang-piutang, pembebasan, paksaan dan lain sebagainya. Berdasarkan hal itu, maka tugas seorang qadi (hakim) itu berbeda dengan tugas seorang mufti (ahli fatwa).  Seorang qadi (hakim) menetapkan hukum berdasarkan bukti-bukti lahir (yang formal) saja, sedangkan seorang mufti dalam menetapkan hukum tetap menjaga aspek batin dan lahir secara bersama. Maka apabila terjadi perselisihan dua orang yang secara lahir sama-sama kuat, maka dalam keputusan hukum, seorang mufti mendasarkan putusannya berdasarkan bukti-bukti batin, jika memang tampak baginya.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang telah membebaskan hutangnya kepada piutangnya (orang yang berhutang) tetapi pihak piutang tersebut tidak tahu kalau hutangnya telah dibebaskan, lalu dikemudian hari orang tersebut menuntut kepada pihak piutang agar melunasi hutangnya, maka hakim (qadi) akan memutuskan bahwa dia dalam (piutang) tetap punya hutang dan wajib membayarnya. Hal itu berbeda dengan putusan fatwa.  Menurut keputusan fatwa, maka orang tersebut (piutang) tidak lagi harus membayar hutangnya karena telah ada ibra' (pembebasan hutang) meski yang berhutang tidak tahu.


-Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral


Fiqih Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan undang-undang moral (qawaid al-akhlaq), bahkan ia menyempurnakannya.
Adapun Fiqih Islam ingin menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Tasyri' ibadah misalnya, dimaksudkan untuk mensucikan dan membersihkan jiwa, serta menjauhkan  dari hal-hal munkar. Diharamkannya riba dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong menolong (ruh ta'awun), kasih sayang diantara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula larangan menipu dalam transaksi, larangan makan harta dengan cara yang batal, serta membatalkan akad, sebab ketidaktahuan (al-jahalah) atau cacat yang sudah maklum dan lain sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk menyebarkan cinta kasih, menjaga kepercayaan dan menghindarkan pertentangan diantara manusia. Disamping itu juga untuk menjaga hak-hak orang lain.  Demikian halnya dengan perintah untuk melaksanakan akad transaksi, yang dimaksudkan untuk menjaga janji, diharamkannya minuman keras (khamr) yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya sebagai tolak ukur baik dan benar.
 

Apabila agama dan akhlak saling menopang dalam kegiatan muamalah maka kemaslahatan masing-masing masyarakat akan menjadi nyata, kebahagiaan mereka di akhirat juga akan tercapai.  Dengan begitu, maka tujuan fiqih adalah untuk kebaikan di masa sekarang maupun yang akan datang dan kebahagiaan dunia akhirat. Pengaruh agama dan akhlak dalam fiqih islam (syariat islam) dapat menjadikan syariat lebih diamalkan, dihormati dan ditaati, sementara undang-undang buatan manusia (al-Qanun al-Wad'iyyi) cenderung untuk dilanggar oleh orang-orang, terutama oleh para penguasa sendiri.


-Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat

Fiqih islam berbeda dari undang-undang konvensional buatan manusia (al-Qanun Al-Wad'iyyi) yang hanya menetapkan hukuman di dunia saja bagi orang yang melanggarnya, karena fiqih islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta'zir yang tidak ditentukan terhadap perbuatan manusia yang bersifat zahir, dan hukuman akhirat atas perbuatan hati yang tidak tampak oleh manusia, seperti iri hati, berniat merugikan orang lain, dan atas perbuatan lahir yang belum dikenakan sanksi (siksa) di dunia, yang boleh jadi hal itu disebabkan karena mengabaikan hukuman tersebut, seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara sekarang ini, atau karena tidak adanya putusan hukum, atau tindakan pelanggaran tersebut tidak sempat diketahui oleh para penegak hukum.

Baca juga: Penerapan Prinsip Fiqih Muamalah dalam Akad Ishtisna 

Demikian pula hukuman atau balasan dalam fiqih islam bersifat positif dan negatif. Dikatakan positif karena dalam pelaksanaan hukuman tersebut terdapat pahala disebabkan oleh sikap ketaatan seseorang kepada perintah-perintah Allah.  Dikatakan negatif karena hukuman tersebut menetapkan pahala bagi seseorang karena menjauhi larangan dan maksiat kepada Allah.
Adapun undang-undang pada umumnya hanya terbatas pada penetapan hukuman yang bersifat negatif (salbi) yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap hukuman-hukuman tersebut, tanpa adanya penetapan pahala (reward) bagi pihak yang dihukum karena taat menjalankan hukuman tersebut.

- Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Artinya, dalam fiqih Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Oleh sebab itu, kemaslahatan bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual, terutama ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan individual dengan kemaslahatan sosial yang bersifat umum. Demikian pula ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang menimpa dua hal yang lebih besar bahayanya.  Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : " " (Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain) dan kaidah yang berbunyi: "menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil resiko yang lebih kecil dari keduanya."

Contoh kasus dalam rangka  menjaga kemaslahatan umum adalah disyari'atkannya ibadah shalat, puasa dan lain sebagainya.  Selain itu adalah dihalalkannya jual beli dan diharanmkannya riba, diharamkannya menyimpan barang dagangan dan jual beli bi saman al-misli, dan lain sebagainya. Termasuk dalam rangka menjaga kemaslahatan umum adalah ditegakkannya hukuman hudud terhadap para pelaku kemungkaran yang berbahaya, pengaturan keluarga, menjaga hak-hak tetangga, menepati janji dan jual beli secara paksa untuk kepentingan umum, seperti kepentingan untuk membuat masjid, madrasah, rumah sakit, kuburan dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun