Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, sebagai masyarakat yang mempunyai pendidikan tertinggi, mahasiswa ditakdirkan sebagai warga negara yang paling berpeluang menjadi calon pemimpin bangsa di hari depan.
Tetapi sayangya, akhir-akhir ini, kredibilitas mahasiswa kembali menjadi pertanyaan yang cukup serius.
Kita tentu bersedih mendengar beberapa hari yang lalu, Fita Fitria Dewi, mahasiswi Fakultas Pendidikan Tata Busana Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Surabaya yang tewas dibunuh oleh dua temannya sendiri, dengan alasan pemerasan untuk melunasi hutang-hutang mereka pribadi.
Belum juga kesedihan mereda, Mario Zuhri membuat kehormatan mahasiswa kembali ternoda. Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang ini divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang selama 18 bulan kurungan penjara.
Mario dinyatakan bersalah pada kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) APBD Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar Rp.100 juta. Berdasarkan bukti dan saksi, ia terbukti mengajukan proposal fiktif dana bantuan sosial dari anggaran dana hibah. Mario menajukan proposal untuk beberapa kegiatan olah raga seperti pencak silat, tenis meja, lomba memanah dan sebagainya. Tetapi, dana yang cair sama sekali tidak disalurkan sebagaimana mestinya. (Radar Tegal Cetak, 20 November 2013).
Tindakan korupsi seperti yang dilakukan oleh Mario, sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Soe Hok Gie dulu. Dalam catatannya yang berjudul Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah, Sang Demonstran itu membeberkan ‘kejorokan-kejorokan’ rekan-rekannya sendiri yang gemar makan uang haram.
Gie berpendapat, soal-soal tersebut harus di buka di depan muka umum. Agar mereka tahu, bahwa uang mereka, dan kepercayaan mereka telah disalahgunakan. Bagi Gie, kebenaran walau bagaimana pun sakitnya adalah lebih baik daripada kemunafikan.
Di tengah karut marut Republik yang kian renta akibat digerogoti tikus-tikus berdasi yang doyan duit korupsi. Mahasiswa sebagai Guardian of Value, seharusnya menjadi ‘api’ yang dapat membakar gerombolan tikus-tikus berdasi yang rakus itu.
Sebagai Iron Stock, haram hukumnya mahasiswa terjerembab dalam kubangan lumpur praktek-praktek korupsi, dalam bentuk apa pun. Mahasiswa, harus bisa menjauhkan diri dari budaya ‘menggarong’ seperti apa yang dicontohkan oleh generasi pendahulunya.
Mahasiswa juga harus berdaya menahan segala macam godaan, mereka harus sadar bahwa mereka adalah Agent of Change: sebuah generasi pelopor yang diharapkan dapat membawa angin perubahan.
Jika mahasiswa tidak sadar akan peran dan tanggungjawabnya, maka, barangkali yang akan terjadi adalah sebagaimana apa yang ditulis oleh Gie dalam catatannya yang lain: “Sebagian dari pemuda-pemuda ini akhirnya berkompromi dengan nilai-nilai lama, tetapi sebagian kecil mencoba mencari kebahagiaan dengan berpaling pada diri sendiri?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H