Mohon tunggu...
Misbahul Anam
Misbahul Anam Mohon Tunggu... Guru - Guru swasta, belajar selamanya

Change Your Word, Change Your World

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terapi Jiwa: Menulis

4 Februari 2024   11:18 Diperbarui: 4 Februari 2024   11:31 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Gentong, kok ada di sini, sih?"

"Ikan paus, ngapain kamu di sini? Balik ke laut sana."

Parah, kan? Bisa dibayangkan bagaimana seandainya kalian jadi Ndut. Betapa panas telinganya. Betapa hancur perasaannya. Betapa porak-porandanya kepercayaan dirinya. It's real. It happens to her. Semua olok-olok itu terjadi padanya. Tega mereka. Tak terpikirkan di benak mereka para pembully dari setiap ejekan yang diucapkan, ada selapis kepercaan diri yang robek. Lapis demi lapis kepercayaan Ndut kian lepas dari dirinya.

Kondisi seperti ini menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman di dunia bagi Ndut. Di rumah tentu terhindar dari olok-olok dan ejekan orang lain. Mengurung diri di rumah bila tak ada hal sangat penting di luar, menjadi sebuah kebiasaan. Setiap pulang sekolah, rumah adalah benteng teraman dari bully orang luar.

Sampai pada usia remaja, Ndut tetap saja tidak mudah melepaskan rasa minder di dirinya. Kenyataan memang badannya tetap saja tebal ke samping. Dalam kesendiriannya di rumah, buku menjadi pelampiasan untuk mengusir rasa bosan. Kebetulan ayahnya seorang pegawai swasta di bidang pendidikan, sehingga sering membelikan Ndut berbagai macam buku; cerita, dongeng, sejarah, dan lain sebagainya. Ayahnya tahu masalah yang sedang dihadapi Ndut. Oleh sebab itu, tanpa banyak kata nasihat, bukulah yang paling pas buat menemani aktifitas di rumah selepas sekolah.

Kebiasaan membaca buku ini lambat laun, seiring bertambahnya usia, Ndut mulai mencoret-coret kertas sekedar menulis penyemangat diri, curhatan, penggalan kisah dalam buku, suasana batin yang ia alami, mulai ia goreskan pada lembar-lembar kertas. Kadang suasana hati sedang kurang nyaman, mulai ia adukan dalam tulisan, rasa ingin bersosialisasi dengan teman-tamannya, ia ungkapkan dengan tulisan, rasa iri dengan temmnya yang mulai mempunyai teman dekat, ia lukiskan dalam puisi sekenanya. Segala tentang yang ada dalam batin dan suasana di luar sana tidak pernah lepas mulai ia torehkan dalam kertas-kertas, meski tidak tersimpan dan kadang terbuang ke tempat sampah. Setidaknya sudah mengurangi rasa kurang percaya diri.


Usia kuliah merupakan tonggak kekuatan mulai mengembalikan kepercayaan diri. Baginya membaca dan menulis adalah aktivitas yang tepat saat tidak padat jam kuliah. Coretan dan goresan tinta semua hal yang ia torehkan di lembaran kertas, mulai beralih ke buku dengan lebih teratur dan tersimpan dengan baik. Di buku catatan, ya karena pada saat itu untuk menulis dengan laptop sepertinya mustahil, karena sekedar mulis atau mencetak lembaran saja harus ke warung internet atau ke rental komputer.

Salah satu ujian terberat saat jadi mahasiswa manakala ia mengerjakan skripsi. Melelahkan jiwa raga. Ia sempat mengalami kebuntuan panjang. Masalahnya datang silih berganti, datang dan pergi. Sampai akhirnya skripsi mengalami deadlock, macet toal, mandek di Bab I. Satu persatu sahabatnya lulus mulai meninggalkannya. Sedih, putus asa, dan merasa sendirian adalah perasaan keseharian. Tertatih, meratapi kemacetan skripsinya.

Tiap hari ia tuliskan kata-kata pengobar semangat di buku kecilnya. Bait-bait kalimat positif ia torehkan. Digoreskannya keyakinan bahwa satu hari nanti "aku pasti meraih predikat sarjana. Aku tak boleh menyerah, tak boleh putus asa". Itu kalimat yang sering ia tuliskan. Ia meyakinkan diri bahwa Allah itu sangat dekat, dan akan menolong hamba-Nya yang mau berjuang dan berusaha.

Saat itu ia hanya punya waktu tiga bulan. Relatif singkat untuk menyelesaikan sebuah skripsi. Namun ia yakin harus bisa, tidak boleh kena DO. Ia berjuang sekuat tenaga yang bisa diupayakan. Beberapa teman angkatannya akhirnya ada yang menyerah, kena DO. Dengan rasa syukur yang luar biasa, akhirnya pertolongan Allah ia dapatkan. Usaha yang sungguh-sungguh dijawab Allah dengan rahmat dan pertolongan-Nya, lolos!. Betapa bahagia, lega, dan terharu bercampur jadi satu menerima nikmat ini.

Ia baca lagi jejak tulisan-tulisannya di buku biru. Berhiaskan kalimat sederhana, kalimat biasa, namun sarat makna dan doa. Banyak kenangan dan peristiwa tertulis di sana. Terkadang ia tersenyum sendiri saat membacanya. Senyum bahagia, karena bisa melewati masa-masa sulit itu dan lolos dari ancaman DO. "Terima kasih ya Allah", gumamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun