Mohon tunggu...
Misbahul Anam
Misbahul Anam Mohon Tunggu... Guru - Guru swasta, belajar selamanya

Change Your Word, Change Your World

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kuliah Gratis dari Pengamen

18 Maret 2012   04:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perjalanan dengan kendaraan umum dalam waktu yang relatif lama akan mendapat dampak psikologis yang luar biasa. Dari awal sebelum berangkat sudah terbayang seperti apa nanti kondisi perjalanan yang akan dilalui. Jalan yang banyak berlobang, kemacetan hampir di sepanjang perjalanan, dan suasana lelah di dalam kendaraan umum. Memang bayangan hal-hal yang buruk  dalam sebuah perjalanan panjang yang belum pernah dialami adalah hal yang biasa menjelma di pikiran setiap orang.

Ya, perjalanan 12-14 jam dengan bis patas adalah sebuah jarak yang amat jauh dan melelahkan. Dengan bayangan yang kurang menyenangkan itulah sebuah kisah perjalanan satu keluarga ini dimulai. Bersama satu keluarga akan melewati waktu cukup lama dari Jepara untuk berkunjung ke sebuah kota yang terletak di Kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Bondowoso di utara, Kabupaten Banyuwangi di timur, Samudra Hindia di selatan, dan Kabupaten Lumajang di barat. Tepat sekali tebakan Anda, Kota Jember.

Perjalanan berangkat dengan bis Patas ini ternyata tidak menemui hal-hal menakutkan yang ada di benak saya ini sebelum berangkat tadi. Perjalanan ternyata lancar-lancar saja. Setelah mampir di rumah makan langganan bis yang ala kadarnya, daripada perut kosong pikirku, bis melanjutkan perjalanan kurang lebih tiga jam sehinggan sampai di sebuah titik pemberhentian di Surabaya, Terminal Bungurasih. Delapan jam telah terlalui dengan baik dan nyaman.

Istirahat sebentar dan menunaikan shalat jamak takdim (dhuhur dan Asar) karena perkiraan lama perjalanan menuju kota Jember masih butuh waktu 5-6 jam, yang berarti melewati waktu shalat Asar. Tanpa berlama-lama karena waktunya juga sudah sangat mendesak, dipilihlah satu bis Patas jurusan Jember yang kelihatan nyaman ditumpangi. Banyak juga sih, bis-bis ekonomi yang bertarif merakyat menawari berulang-ulang untuk segera naik, akan tetapi pilihan masih tetap pada angkutan umum yang lebih nyaman, tidak sumuk, dan cepat sampai.

Sambil menunggu jam keberangkatan, banyak sekali pedagang asongan naik menyambangi penumpang untuk menawarkan dagangannya. Bahkan saking banyaknya pedagang itu melebihi jumlah penumpang yang sudah mendapat tempat duduk. Pedagang jajanan, koran, majalah, alat pijat, dan pengamen, tumplek blek menyerbu bis untuk mendapatkan rupiah.

“Buku – buku, Buku bagus dijamin puas , kalau sayang anak belilah buku pelajaran, agar si anak jadi lebih pinter, kalau mau kaya, beli juga buku bisnis, bisa bantu tambah kaya, kalau pengen sehat beli juga buku humor, dijamin tertawa terbahak sampe lupa sakitnya. Ayo siapa yang mau beli??? Murah meriah . “ Koar si pedagang buku dengan meriah. Kondisi ini mencerminkan telah terjadi peristiwa ekonomi kerakyatan dalam bis secara alamiah. Jauh dari hangar-bingar teori ekonomi kerakyatan yang sering diulas oleh pada ahli di media massa.

Tak kalah sengitnya seorang pengamen dengan satu gitar dan gelas plastik air mineral tertancap di ujung gitarnya, menyapa penumpang dengan indah dan santun, "Selamat siang Bapak-bapak, Ibu-ibu, sebelum menikmati perjalanan Anda perkenankan saya menghibur Anda sekalian untuk sejenak melepas lelah dalam perjalanan panjang yang sudah dan akan Bapak-Ibu lalui".

Jreng... gitar mulai dipetik dan didendangkan sebuah lagu yang menurut telinga kebanyakan, nikmat juga. Alunan suara dan petikan gitarnya tidak mengecewakan.  Lagunya memang sedikit mengobati rasa lelah yang menyapa setelah perjalanan delapan jam tadi.

Satu lagu selesai, hiruk pikuk pedagang menawarkan macam-macam dagangannya terus bergantian naik turun. Sang pengamen mafhum kondisi seperti itu yang harus berdesakan dalam suasana kebersamaan mencari nafkah dalam bis.

Jreng... gitar ternyata dipetik lagi untuk lagu kedua. Syairnya betul-betul ditujukan kepada para penumpang bis itu. Cukup meyayat kalbu ternyata syair-syairnya. Sebenernya bukan suara atau penampilannya yang membuatku antusias, tapi lirik dalam lagu itu yang membuat hati ini bergetar.

Lagu kedua selesai. Mulailah aktifitas lanjutan dari pemetik gitar ini dilakukan, mencopot gelas plastik yang tertancap di gitar dan mengedarkannya ke para penumpang. Yang menarik hampir setiap  pengamen dalam bis setelah selesai menyanyikan lagu, mereka selalu meminta sumbangan sukarela sebagai uang lelah setelah didahului ucapan mendoakan para penumpang bis agar sampai tujuan dengan selamat dalam perjalanan mendapat limpahan rejeki yang banyak dariNya.  Pengamen juga selalu  mengucapkan, "Permisi", "Terima Kasih, ikhlas bagi anda, halal buat  kami".

Luar biasa ucapan pengamen itu. Mereka tiap hari bekerja dengan ketulusan dan selalu mendoakan orang lain, meskipun mereka tidak pernah mengaku dirinya religius seperti orang-orang yang mengaku ahli agama. Bagi saya, ucapan ‘‘ikhlas bagi anda, halal buat  kami’ adalah mantra pengamen dalam menyeleksi uang yang halal, yang diijalani dengan tetesan keringan naik-turun bis setiap harinya.

Ada dua hal dari keteladan pengamen di bis tersebut. Pertama, pengamen bis itu memberikan keteladan bagaimana  mencari uang dengan kerja keras dan menyeleksi hartanya yang  halal. Kata ‘ikhlas’ adalah kata yang sulit dijalani dalam hidup sehari-hari oleh tiap individu, demikian juga dengan kata ‘halal’. Kedua, dengan ucapan itu pengamen sebenarnya membangun budaya malu kepada penumpang di bis. Kalau diresapi benar, maknanya begitu dalam – malu jika kita tidak ikhlas dalam mengerjakan sesuatu, malu kepada Sang Pembuat Nafas; dan malu jika kita menerima rejeki haram.

Mengapa banyak pejabat publik di negeri ini  tidak belajar kepada para pengamen di bis-bis  dalam mencari rejeki yang halal? Para pengamen itu tiap harinya sebenarnya kuliah kehidupan di ‘Universitas Bis’ untuk meraih kebahagiaan sejati. Sudah saatnya pejabat publik negeri ini kuliah di ‘Universitas Bis’ agar wajah berita media massa sehari-hari isinya tidak bertajuk korupsi dan pelanggaran hukum kaum pejabat publik melulu.

Tanpa terasa, pikiran yang menerawang setelah melihat aktivitas, sportifitas, dan kebersamaan dalam pencarian nafkah para pedagang asongan dan pengamen sebelum keberangkatan bis tadi, terngiang-ngiang sampai lima jam perjalanan tiba di Jember.

Hikmah yang luar biasa bagi saya sekeluarga untuk terus menambah syukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun