Mohon tunggu...
Anam Khoirul Anam
Anam Khoirul Anam Mohon Tunggu... -

Anam Khoirul Anam: lahir di Ngawi, 26 Juni 1982. Pasca kuliah, ia begitu ingin serius dalam mengembangkan potensi menulisnya dan ingin lebih memperdalam jiwa sastrawinya lewat buah pikir dan lewat kreasi kreatif jemari-jemarinya yang ‘dingin’. Selain memperdalam dan mengembangkan kreatifitas menulisnya, ia juga mendirikan sebuah wadah kepenulisan agar lebih memberdayakan khazanah literasia: Anam Khoirul Anam Reader (AKAR).\r\nemail: anamer_19@yahoo.com\r\nFB / PF: Anam Khoirul Anam\r\nTwitter: @NAMe_19

Selanjutnya

Tutup

Puisi

WawasanNews, 08 Juli 2013

27 Juli 2013   08:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:58 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragedi Suatu Musim

PADA suatu malam yang hening, ketika rembulan menggantung di temaram langit, di antara reranting ranggas dan tua, beberapa ekor hering bertengger dengan sorot tajam. Sesekali ia mematuk dahan membersihkan sisa darah di paruhnya sehabis memangsa bagkai binatang yang lolos dari buruan. Binatang itu tewas setelah bersusah payah melawan luka di tubuhnya yang kian parah. Ia berusaha melawan maut. Ia terkapar setelah gagal mencabut anak panah yang tembus ke jantungnya.

Alam sekitar yang melihatnya seperti tak mampu berbuat apa-apa selain hanya memandang dengan penuh rasa iba. Hanya rerumputan hijau yang menyediakan diri sebagai tempat peristirahatan terakhir baginya. Hanya saja, kesedihan itu semakin menjadi-jadi setelah hering itu datang dan menyantap habis seluruh dagingnya dan hanya menyisakan tulang belulang secara berserakan.

Sayangnya, tragedi itu belum terhenti sampai di situ. Sekawanan anjing datang lalu membawa tulang belulang itu ke segala penjuru, di sudut-sudut bumi. Alam raya menundukkan wajahnya sebagai ungkapan belasungkawa, duka cita, atau berkabung.

Binatang itu adalah domba yang hampir saja melahirkan anaknya. Tak sebatas itu, ia juga meninggalkan ketiga anaknya di hutan belantara untuk mencari makan sesaat sebelum menyerah pada takdirnya, yang entah kini bagaimana nasibnya setelah ia tewas secara tragis. Entah, apakah anak-anaknya dijarah para pemburu, atau justru bisa menyelematkan diri masing-masing. Ia hanya ingat seruan pada anak-anaknya untuk segera lari dan menyelamatkan diri ke dalam hutan.

Yogyakarta, 29 Mei 2013



Dua Dimensi

BAGAIMANA kamu akan memberi makna

atau arti dalam menjalani hidup bila berjalan secara kosong

bukankah gelas itu takkan pernah memulihkan dahaga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun