Pesan itu terkirim. Ray menarik napas dalam, berharap percakapan nanti tidak akan merusak segalanya.
Alana menatap layar ponselnya yang bergetar. Pesan dari Ray. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pesan itu. Kata-kata yang sederhana, namun membuat hatinya bergemuruh. Ada firasat bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, tidak akan sama lagi.
Beberapa menit kemudian, mereka bertemu di sebuah kafe kecil, tempat yang biasa mereka kunjungi. Hujan masih turun di luar, menciptakan suasana tenang namun penuh ketegangan di dalam ruangan. Alana dan Ray duduk berhadapan, tetapi tak ada yang memulai pembicaraan. Mereka saling menatap, seolah-olah mencoba membaca pikiran masing-masing.
Akhirnya, Alana memecah keheningan. "Ray, aku lelah," katanya pelan. "Aku lelah menyimpan semuanya sendirian."
Ray menunduk, sudah menduga arah pembicaraan ini. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari Alana membuat hatinya sedikit tenggelam. Bukan karena ia tidak peduli, tapi karena ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menyakiti hati sahabatnya ini.
"Aku tahu," jawab Ray lembut. "Aku juga merasakan ada yang berbeda."
Alana menatapnya, berharap jawaban yang ia inginkan akan datang dari bibir Ray. Namun, ketika Ray melanjutkan kata-katanya, hatinya justru tersentak.
"Alana," Ray berkata dengan nada hati-hati, "aku tidak ingin kita kehilangan ini. Apa yang kita miliki... persahabatan kita, itu terlalu penting bagiku."
Alana merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Kata-kata Ray seolah menghancurkan semua harapannya. Ia menunggu sesuatu yang lebih, namun yang datang justru sebaliknya.
"Persahabatan kita adalah hal yang paling berharga bagiku," lanjut Ray. "Aku tidak ingin merusaknya dengan hal-hal yang mungkin bisa menjadi rumit. Kita sudah memiliki sesuatu yang begitu indah, Alana. Aku tidak ingin itu berubah."
Mendengar itu, Alana tersenyum getir, meskipun hatinya perih. "Jadi, bagi kamu, ini hanya tentang menjaga persahabatan kita?"