NU; SUNNI BERBALUT SYIAH
Ibarat laga El Clasico di Spayol, antara Barcelona dan Real Madrid. Begitulah gambaran ‘perseteruan’ antara sekte Sunni- Syiah. Konflik keduanya sudah sering muncul di berbagai Negara yang mayoritas muslim, seperti Irak-Iran, Arab Saudi, bahkan di Indonesia. Ingatkah pada konflik Sampang, Madura?.
Sunni ialah sekte Islam terbesar di dunia. Secara teologis Sunni menganut paham Al Asyariyah-Al Maturidiah. Sedangkan dalam amaliyah/fiqhiah menganut salah satu mazhab empat, Safiiyah, Hambaliyah, Hanafiyah, dan Malikiyah. Sedangkan, ‘rival’nya, Syiah adalah golongan yang fanatik terhadap Ahl Bait dari jalur Ali Bin Abi Thalib. Keduanya jelas berlawanan secara Ideologis maupun teologis, namun dalam ‘sejarahnya’ tidak jarang keduaanya clash secara politik.
Nahdlotul Ulama (NU) yang notabene adalah organisasi beraliran Sunni/Ahl Sunnah Wal Jamaah – disingkat Aswaja – dan dominan. Semakin gencarnya NU mempropagandakan Aswaja/Sunni sebagai Al Firqah Al Najah (golongan yang terselamatkan) dianggap sebagai langkah defend untuk membendung aliran – aliran yang (diklaim) menyimpang. Apalagi adanya organisasi berhaluan Syiah di Indonesia, yakni IJABI (Ikatan Jamaah Ahl Bait Indonesia) yang berdiri sejak tahun 2000. Jelas pertarungan ideologi tak terelakkan.
Tentu ‘perseturuan’ Sunni-Syiah tentu tidak ingin terjadi lagi sebagai konflik manifest, seperti yang terjadi di Sampang Madura yang hingga kini belum terselesaikan, apalagi dalam konteks ke-Bhinekaan yang mengamini keberagaman suku, agama, bahkan sekte. Inilah yang menjadi PR besar, bagaimana mendamaikan Sunni yang diwakili NU dan Syiah?.
Keberhasilan walisongo dalam penyebaran Islam melalui pendekatan kutural telah diadopsi NU, yang (mengaku) sebagai pewaris walisongo. Maka tidak heran kalu NU meraih simpati muslim Indonesia dan menjadi organisasi social-keagamaan terbesar di Indonesia. Melalui tradisi – tradisi keagamaan yang khas banyak dianggap sebagai tradisi yang bercorak Hindu-Bhuda. Namun ternyata menurut berbagai pandangan lain menandaskan bahwa tradisi yang terbangun di masyarakat NU – disebut Nahdliyin – cenderung sebagi tradisi Syiah.
Kedekatan Syiah dan Nahdliyin
Kedekatan Syiah dan Sunni di Indonesia ditandai dengan tradisi NU yang tengarai sebagai warisan budaya Syiah yang terbangun sejak dahulu. Beberapa tradisi tersebut seperti ;
1.Suroan
Tradisi yang dihelat setiap tahun diawal bulan Muharram. Kata Suro berasal dari bahasa Arab ‘Asyuro yang berarti hari kesepuluh bulan Muharram , yakni tanggal 10. Di Syiah hari tersebut adalah hari besar yang diperingati dengan meriah sebagai peringatan terhadap Peristiwa Karbala, yakni pembunuhan keji terhadap Husain Bin Ali – salah satu anak Ali Bin Abi Thalib. Di NU tradisi ini dikenal dengan tardisi ‘suroan’ yang sering diperingati dengan kenduren di musholla – mushola, mengadakan pengajian-pengajian umum dan sebagainya. Hal ini seperti yang dilansir di situs resmi IJABI dan juga disepakati oleh Agus Sunyoto, tokoh NU terkemuka dalam bukunya ‘Sufi Desa Vs Wahabi Kota’.
2.Ziarah Wali / orang-orang sholeh
Bagi orang NU / Nahdliyin ziarah kubur menjadi suatu rutinitas. Tradisi ini juga mengakar di kalangan Syiah yang juga sering mengunjungi makamimam – imam mereka atau orang – orang yang dianggap saleh sebagi wujud kesetiaan dan ta’zim seperti yang dikatakan Ridha Mudlofar dalam bukunya ‘ Ideologi Syiah Imamiyah’.
Agus Sunyoto juga menyatakan kuburan – kuburan yang ada di Jawa menyerupai kuburan Syiah secara arsitektur.
3.Tawassul
Syiah sangat menghormati para Ahl Bait ataupun imam – imam mereka, bahkan setelah wafat. Saking takzimnya, orang syiah menjadikan mereka perantara (tawassul) dalam berdoa kepada Allah SWT. Sama seperti orang – orang NU.
Sedangkan tahlilan atau dzikir di hari ke 3,5,7,40,100,dan 1000 kematian seseorang dianggap bentuk sinkritesme Hindu-Budha dibantah oleh Agus Sunyoto. Menurutnya tradisi ini adal;ah tradisi Islam Syiah.
4.Peringatan maulid dan Manaqib
Peringatan Maulid atau yang biasa disebut Haul adalah sebagai wujud pengjhormatan/ takzim, dan tabarruk (mengharap berkah), bukan hanya kepada nabi Muhammad tapi juga kepada orang – orang yang dianggap suci dan dekat kepada Allah SWT. Begitu juga pembacaan manaqib atau riwayat – riwayat orang sholeh.
Perjalanan Syiah di Nusantara
Mengingat proses Islamisasi di Nusantara juga di pengaruhi dari Persia. Lebih detailnya ada 4 teori masuknya Islam di Nusantara, yakni teori India, teori Arab, teori Cina, dan teori Persia. Yang terakhir inilah yang dipersepsikan sebagi jalan masuknya Syiah di Indonesia.
Teori Persia dikemukakan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat. Ia menyatakan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 masehi di Sumatra, yang berpusat di Samudra Pasai. Pendapatnya didasarkan pada budaya masyarakat Islam Indonesia antara lain, pertama ; peringatan 10 muharram / Suroan, (lihat ;suroan), kedua ; adanya persamaan Al-Hallaj dari Iran dan Syeh Siti Jenar, ketiga ; system mengeja huruf Arab bagi pegajian tingkat awal, keempat ; adanya persamaan batu nisan di makam Malik Al Sholeh (1297 M) di Pasai dengan Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik yang di pesan dari Gujarat yang notabene daerah ini mendapat pengaruh dari Persia yang mayoritas menganut Syiah.
Meski demikian, Persia yang menjadi basis Syiah, pengaruh Syiahnya tenggelam akibat pengaruh madhab Syafii yang berasal dari Malabar, India (Gujarat) yang datang terlebih dahulu di Nusantara.
Pendapat P. A. Hoesein Djojodiningrat secara tak langsung didukung oleh Prof. A Hasyim. Pada tahun 173 H ( 800 M) pedagang muslim dari Gujarat tiba di Bandar Peurleak. Usaha meng-Islamkan daerah tersebut berjalan sukses, sehingga pada tahun 1 Muharam 225 H (840 M) diproklamirkan kerajaan Islam Peurlak/ Perlak dengan raja pertama Sultan Sayyid Maulana Abdul Azis Syah yang menganut paham Syiah.
Sedangkan pada tahun 433 H (1042 M) berdiri kerajaan Samudra Pasai (Sunni) yang pada dibawah pimpinan Ratu Nihrasiyah Rawawangsa Khadija (1400 – 1428 M) mengangkat perdana menteri Syiah yang bernama Arya Bokooy yang bergelar maha raja Ahmad Permala. Seiring perkembangannya perselisihan politik antara Sunni-Syiah tidak terelakkan.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak permulaan masuknya Islam di Indonesia, kultur Syiah meresap pada sendi-sendi kehidupan Islam di Indonesia, hingga sekarang. Perbedaan apapun seharusnya ditanggapi secara ‘legowo’, karena dari perbedaan tersebut pasti ada kedekatan dalam sisi tertentu, hingga terwujud kehidupan yang harmonis tanpa harus memandang perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H