Dualitas Manusia, seperti yang sudah saya baca berkali-kali pada Bagian II Bab 4 Simbol II dengan judul Manusia, Sebuah Kemungkinan Untuk Menjadi tentang Sifat Dualitas Manusia.
Dalam diri manusia masing-masing memiliki kualitas dan sifat yang berbeda namun dalam buku Titik Ba seorang penulis Tegal dalam bukunya sedikit menjelaskan secara rinci dan cukup mendasar tentang sifatSetiap dari manusia melewati hidupnya masing-masing serta cukup beragam dan itu semua tak lain hanyalah menuju kesempurnaan dalam hidup. Yang kita tahu sifat dalam diri manusia adalah diri kita masing-masing lalu tanpa sengaja direlasasikan dalam kehidupan riil disetiap tindak dan ucap kita dalam sehari-hari sehingga muncullah karakter atau kepribadian masing-masing.
Penulis buku menjelaskan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang melewati beragam proses menuju kesempurnaan sepanjang keberadaannya.Â
Sebagai gabungan dari "spirit suci" (yang mendahului sujud malaikat kepada Adam) dan "debu tanah" (yang membuat iblis berpandangan rasis dan menolak bersujud), manusia dirancang dan diciptakan dengan dua kutub kecenderungan yang bertolak belakang. Kutub pertama (taqwa) berpotensi naik ke hakikat tertinggi, lebih tinggi daripada yang pernah dicapai malaikat. Kutub kedua (fujur) memiliki daya tarik ke hakikat yang paling hina. Begitu lukasnya ia memaknai manusia dari sejarah dan kehidupan manusia dari waktu ke waktu.
Sudah sering kita temui beberapa orang di sekeliling kita atau mungkin orang-orang terdekat seperti orang tua, kerabat atau teman. Setiap dari manusia sedang berproses dan berjuang terus menerus dalam hidup untuk menentukan pilihan.Â
Dalam situasi pilihan itu manusia bebas menentukan untuk menjadi hakikat tertinggi dengan dasar-dasar manusia atau menjadi hakikat yang paling hina dengan menghilangkan dasar-dasar manusia dengan hidup penuh blingsatan menabrak kehidupan orang lain.
Ia juga menjelaskan bahwa keburukan melingkupi manusia dari segala arah, maka manusia dapat berbuat kebaikan dengan tindakan dari segala arah pula. Itu artinya kita diberi pilihan oleh hidup tentang kehidupan mana yang pas untuk kita jalani dan bagaimana hidup kita kepada orang lain.Â
Di sini benar-benar menjelaskan tentang interaksi sosial bahwa arah keburukan akan menghantarkan kita pada tempat keburukan dan sebaliknya. Tapi mungkinkah setiap manusia berjalan sesuai arah yang sama?, Yakni kebaikan. Dan terkadang yang kita tahu kebaikan hanyalah suatu kejadian yang klop dengan fikiran kita dan keburukan adalah suatu yang tidak klop dengan fikiran kita. Jadi apa maksud kebaikan menurut kita?, Mungkin kita memahaminya sesuai kehendak masing-masing.
Penulis buku juga menjelaskan tentang kedewasaan, sejak lahir, "kodrat bumi", memaksa kita menuju kedewasaan fisik-biologis. Dan "kodrat langit" memberi kita pilihan menuju kedewasaan psikis-spiritual. Kedewasaan adalah kemandirian. Secara "kodrat bumi", kedewasaan adalah kemampuan dalam hal melahirkan keturunan (reproduksi), sedangkan secara "kodrat langit" adalah dalam hal melahirkan keputusan. Ujian utama kedewasaan adalah ketika kita menjalin sinergi melalui pernikahan. Secara kodrat bumi, pernikahan persebadanan (coitus), secara kodrat langit adalah seperhatian. Suatu paradoks, kita justru benar-benar mandiri apabila kita dapat saling bergantung dengan sesamanya.
Penulis begitu lukas menjelaskan tentang kedewasaan dengan mengumpamakan antara kodrat bumi dan kodrat langit. Dibumi ada beberapa sifat yang tumbuh dan hidup dari waktu ke waktu dan dilangit pun ada beberapa sifat tumbuh dan hidup dari waktu ke waktu sampai sekarang.Â
Di bumi ada banyak yang bisa kita pelajari dan kita ambil ilmunya untuk kehidupan sehari-hari entah itu segala sifat bumi yang pastinya sudah kita ketahui tentang menumbuhkan, memberi, ketabahan dan lainnya. Dan dilangit juga banyak yang bisa kita pelajari untuk kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari atau tidak langit selalu menampilkan cahaya matahari dan menciptakan awan yang menggumpal lalu turunlah hujan yang menumbuhkan dan menghidupkan dibumi.Â