Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibuka dengan satu kalimat lugas lagi tegas, betapa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Karenanya, penjajahan harus dihapuskan.
Bukan saja bertubrukan dengan rasa kemanusiaan dan keadilan, melampauinya, kemerdekaan merupakan suatu perkara urgen yang, tidak bisa tidak, mesti diperjuangkan terus-menerus.
"Kado" Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kala Indonesia genap 65 tahun merdeka, yakni klaim sepihak atas utara Natuna. Tak setop di situ, enam tahun berselang tersua berita penangkapan ikan ilegal, masih oleh pelaku dan di perairan yang sama.
Bak fenomena gunung es, seyogianya "kado" itu mencelikkan kesadaran bersama selaku anak bangsa. Pasalnya, konflik di Laut China Selatan (LCS) yang semula hanya melibatkan enam negara (RRT, Taiwan, plus empat anggota ASEAN), dengan Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel sebagai sumber utama persoalan, kini Indonesia jua termasuk dalam silang sengkarut tersebut. Sebagai aktor HI, atensi dan keseriusan negara tentu amat dinantikan.
Manuver RRT dengan nine dash line di mana Natuna berada di garis imaji itu, eskalasi konflik dengan Filipina, ditambah dimensi cawe-cawe Amerika Serikat, sebagai misal, menandaskan ancaman konflik di LCS bukan isapan jempol belaka.
Lantas, apa yang sekiranya bisa dilakukan demi menyelesaikan konflik di LCS yang turut mengancam kedaulatan teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan atas keamanan kawasan di sekitarnya?
Pembangunan kekuatan militer dan dialog multilateral sebagai alternatif
Tiada dinafikan, di bawah Presiden Joko Widodo, konflik di LCS disikapi serius. Sekurangnya dengan melayangkan nota protes, dua kali visitasi ke Natuna, peluncuran peta baru NKRI; penamaan Laut Natuna Utara, nota diplomatik ke PBB, pembangunan ekonomi dan manusia di Kepulauan Natuna, bahkan menggelar kekuatan militer sebagai upaya patroli, sekaligus menciptakan efek gentar. Pendeknya, negara hadir. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) bisa dihindari.
Namun, bagaimanapun, adagium si vis pacem para bellum (jika engkau menginginkan kedamaian, bersedialah untuk perang) masih dirasa relevansinya. Mengingat, sejauh kita mendaku negara maritim, Angkatan Laut (AL) Indonesia belum bisa dikatakan kuat. Sukar dibayangkan, seandainya kekuatan militer terpaksa dikedepankan bilamana terjadi friksi di area konflik. Alutsista RRT bukantah dewasa ini setara, untuk tak menyebut unggul, dengan AS dan Rusia?
Vis--vis kekuatan militer RRT, maka bukan sebatas gertak sambal, dikhawatirkan perang asimetrislah yang terjadi. Pesimistis penulis ini kiranya justru bisa melecut militer Indonesia dalam berbenah diri, utamanya peningkatan alutsista AL-nya.
Kedua, (potensi) konflik di LCS perlu selalu dipandang dan dimaknai sebagai konflik bersama ASEAN. Artinya, penyelesaian konflik ini akan jauh lebih ampuh justru bukan dalam ranah bilateral, melainkan multilateral.