Mohon tunggu...
Oghie Purnomo
Oghie Purnomo Mohon Tunggu... -

kelahiran dekat sungai missisipi, besar di kota bekasi

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Timnas Tanpa Naturalisasi

13 Juli 2014   23:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Kalimat tersebut mungkin menjadi semakin sering didengar seiring dengan kekalahan Indonesia di Piala AFF 2012 dan kesuksesan timnas U19 lolos ke Piala Asia U19 2014 di Myanmar.
Indonesia di Piala AFF 2012 tampil tanpa banyak bintang setelah perselisihan dua kubu PSSI yang belum usai kala itu. Diisi dengan materi terbaik dari liga yang ada, Indonesia tampil tanpa greget dan gagal lolos ke semifinal AFF 2012. Padahal untuk menghadapi AFF 2012, Indonesia memanggil beberapa pemain blasteran Indonesia ke skuad nasional arahan Nil Maizar sebut saja Jhonny van Beukering, Tonie Cussell, Raphael Maitimo. Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Jhonny van Beukering yang berposisi sebagai striker tidak bisa bermain maksimal. Bagaimana tidak, kala itu van Beukering bermain dengan kondisi kegemukan. Dengan tinggi 185 cm, JvB mempunyai berat 95 kg, dari fisik pun terlihat dia sangat kegemukan. Dan terbukti JvB tidak berkontribusi apa-apa untuk timnas.
Tonie Cusell, sepupu dari Stefano Lilipaly, berposisi sebagai gelandang bertahan. Pemain yang kala AFF 2012 bermain untuk klub GVVV- klub Amatir Belanda yang bermain di divisi 3 liga Belanda- ini tidak bermain maksimal. Permainannya tidak stabil. Bervisi bagus dan mempunyai umpan yang cukup akurat, namun bermain tanpa semangat membuat pemain ini seperti tak bertenaga.
Raphael Maitimo, mungkin merupakan pemain keturunan terbaik di piala AFF 2012. Bermain di lini belakang sebagai center back, Maitimo bermain bagus dan berhasil mencetak 1 gol kala Indonesia bermain 2-2 melawan Laos. Maitimo yang merupakan pemain tengah berhasil membuktikan bahwa dia pemain serba bisa. Dia terbukti dapat bermain di posisi bek tengah ataupun bek sayap.

Pemain naturalisasi lain
Melihat kekacauan di Piala AFF2012, banyak orang yang mulai ragu dengan pemain naturalisasi. Pemain naturalisasi yang dianggap masyarakat berhasil hanya Cristian Gonzalez. Dia berhasil membawa Indonesia hingga final AFF 2010. Kala itu El Loco merupakan pemain andalan timnas di lini depan. Sedangkan pemain lain bisa dibilang flop atau belum berkontribusi maksimal untuk timnas.
Sebut saja Kim Jeffrey Kurniawan (naturalisasi asal Jerman). Kim sampai saat ini merupakan pemain naturalisasi yang belum pernah bermain untuk timnas Indonesia. Cucu dari pemain timnas Indonesia tahun 1950-an, Kwee Hong Sing, tidak bermain di AFF 2010 karena cidera dan gagal lolos timnas SEA Games 2011.
Ruben Wuarbanaran, naturalisasi asal Belanda, juga tidak pernah dipanggil di timnas usia manapun walaupun telah dinaturalisasi.
Sergio van Dijk, pemain lini serang Indonesia, bisa dibilang gagal bersinar di timnas. Menjadi topskor di klub Persib, Sergio gagal mencetak gol di dua pertandingan internasionalnya. Tidak mendapat suplai yang cukup dan ketidakcocokan dengan strategi pelatih membuat dia tidak berkembang di dua pertandingan itu.
Stefano Lilipaly, pemain berdarah Maluku ini bisa dibilang pemain yang paling gigih untuk bergabung dengan timnas Indonesia. Jadwal pertandingan timnas Indonesia yang sering tidak dalam FIFA international break membuat pemain ini jarang diberikan izin oleh klubnya kala itu, Almere City, untuk bermain untuk Indonesia. Pemain ini telah sekali membela timnas kala bertanding dengan Filipina. Pemain ini bermain cukup baik sebagai gelandang serang. Namun pemain ini tidak pernah dipanggil lagi oleh Timnas Indonesia. Bahkan dia berkata akan bermain di LSI agar dapat bermain di timnas.
Greg Nwokolo, pemain asal Nigeria ini dinaturalisasi karena telah bermain lebih dari 5 tahun di Indonesia. Pemain yang mengawali kiprahnya di Indonesia bersama Persijatim ini merupakan striker yang haus gol. Walaupun baru mencetak satu gol di enam pertandingan internasionalnya, pemain ini selalu dipanggil timnas Indonesia hingga saat ini.
Victor Igbonefo, juga merupakan pemain yang dinaturalisasi karena telah bermain lebih dari 5 tahun di Indonesia. Victor masih menjadi pemain andalan di timnas maupun diklub. Permainannya dalam menjaga van Persie dalam pertandingan persahabatan melawan Belanda menuai banyak pujian baik dari public Indonesia maupun dari pelatih Belanda.
Diego Michiels, pemain naturalisasi asal Belanda ini merupakan pemain timnas Indonesia mulai dari U23 dan juga senior. Diklub, pemain ini merupakan pemain andalan di sisi kanan pertahanan. Namun sikap dan tindakan indisiplinernya membuat ia pernah ditahan oleh kepolisian RI selama beberapa bulan.
Dari pemain-pemain itu juga terdapat pemain keturunan namun bukan naturalisasi namun sering dianggap pemain naturalisasi. Dia adalah Irfan Bachdim. Pemain didikan Ajax dan FC Utrecht ini tidak pernah memegang paspor selain paspor Indonesia. Bapaknya merupakan WNI  dan Ibunya merupakan warga Negara Belanda. Pemain ini telah bersama timnas U23 yang kala itu melakukan TC di Belanda guna menyiapkan diri menuju Asian Games 2006. Namun cidera diakhir TC membuat dia gagal masuk skuad Asian Games 2006. Dia akhirnya masuk skuad timnas AFF 2010 dan bersinar di AFF 2010. Di SEA Games 2011, dia dipanggil pelatnas namun dikeluarkan pelatih RD karena gagal memenuhi batas waktu berkumpul di pelatnas. Atas tindakan itu Irfan dikeluarkan dari timnas U23.
Secara keseluruhan, pemain naturalisasi tidak begitu mengecewakan, tercatat 5 pemain naturalisasi masih dipanggil ke timnas. Sebut saja El Loco, Greg, Victor, Diego, dan Maitimo. Namun selebihnya gagal bersinar bahkan dinilai tidak layak masuk timnas.

Kebangkitan Timnas U19
Tahun 2013 merupakan tahun anugrah untuk Indonesia. Bagaimana tidak, tiga timnas kelompok umur Indonesia berhasil masuk final turnamen Asia Tenggara.
Timnas U16 berhasil masuk final AFF U16 setelah mengalahkan Australia disemifinal. Namun timnas U16 harus mengakui keunggulan Malaysia setelah kalah di adu penalty setelah bermain imbang 1-1 di waktu normal. Kekalahan ini cukup menyakitkan karena sampai menit 89, timnas unggul 1-0 sebelum akhirnya kesalahan pemain belakang Indonesia menjatuhkan pemain Malaysia dikotak penalty membuat Indonesia kebobolan dan berlanjut ke adu penalty. Kekalahan menyakitkan di AFF seakan menjadi momok untuk timnas U16, yang membuat mereka gagal lolos ke AFC U16 setelah gagal total di kualifikasi.
Timnas U23 berhasil meneruskan tradisi ke final SEA Games. Namun kembali kalah setelah di final kalah 0-1 dari Thailand. Hal ini membuat Indonesia belum mampu meraih emas sepakbola di SEA Games setelah terakhir meraihnya di SEA Games 1991.
Yang paling membanggakan tentu timnas U19. Berhasil menang piala AFF U19, timnas juga berhasil lolos ke Piala AFC U19 setelah secara heroic mengalahkan Juara AFC tahun sebelumnya, Korea Selatan, 3-2. Evan Dimas menjadi bintangnya.
Ini merupakan pemuas dahaga pecinta sepakbola yang tidak pernah lagi melihat Indonesia juara. Ini juga menjadi harapan baru akan timnas yang menjadi momok bagi Negara-negara lain di Asia.

Hubungan naturalisasi dan kesuksesan U19
Melihat prestasi timnas U19 walaupun tanpa pemain naturalisasi membuat masyarakat semakin tidak percaya akan program naturalisasi ini. Naturalisasi hanya dianggap membuat pemain local tidak berkembang karena tidak akan dipanggil ke timnas.
PSSI pun menindaklanjuti keinginan masyarakat dengan menstop program pemurnian warga Negara asing ini. Mereka melihat timnas U19 dapat tampil bagus sehingga cukup mampu menopang timnas walaupun tanpa pemain naturalisasi.
Sebenarnya keputusan mempercayakan pemain muda akan menambah motivasi pemain muda untuk lebih berkembang. Namun disatu sisi dengan meniadakan program naturalisasi, bakat-bakat Indonesia di luar negeri akan tidak dapat dimaksimalkan.
Tidak ada yang salah dengan program naturalisasi. Timnas Italia, Jerman, USA dan timnas-timnas didunia banyak yang melakukan naturalisasi. Pemain-pemain yang mempunyai darah Negara tersebut atau telah lama bermain di Negara tersebut berhak menjadi WN dan membela timnas Negara tersebut. Namun ada yang tidak berjalan baik dalam program naturalisasi di Indonesia.
Pencarian pemain di timnas U19 bukan dari kabar burung, bukan dari berita dikoran akan pemain yang ada. Pencarian pemain dilakukan dengan cara scouting oleh tim pelatih untuk menemukan bakat yang tepat untuk timnas U19. Indra Safri melakukan blusukan ke daerah-daerah untuk mendapatkan pemain yang diinginkan. Tidak satu dua bulan. Namun bertahun-tahun. Coach Indra sudah mulai mencari pemain-pemain ini dari 3-4 tahun yang lalu, dan terus ditempa hingga menjadi tim seperti sekarang.
Scouting ini yang sepertinya tidak ada di program naturalisasi di Indonesia. Terlihat dari pemain-pemain yang kurang maksimal yang didapat. Jhonny van Beukering memang pemain yang pernah bermain di kompetisi tertinggi di Belanda, namun ketika dinaturalisasi dia sudah tidak dalam form terbaiknya. Over weight dan bermain di tim amatir. Ketika di Pelita pun dia tidak bermain baik. Begitu juga dengan Ruben yang ketika di Pelita gagal menunjukkan kelasnya sebagai pemain naturalisasi.
Naturalisasi tidak bisa hanya melalui berita di Koran atau kabar burung bahwa dia pemain keturunan. Naturalisasi harusnya dengan pemantauan bakat setelah mendapatkan kabar tentang status ke-keturunan-nya. Banyak pecinta sepakbola di luar negeri yang sering memberitakan tentang keturunan, seperti. Dari orang-orang seperti itu kita bisa mendapatkan list pemain-pemain keturunan dengan sangat mudah. Dan dari KBRI di luar negeri kita juga seharusnya bisa mendapat list pemain-pemain keturunan dengan mudah. Namun tidak semua pemain di list tersebut yang bisa dibilang mempunyai kualitas di atas pemain Indonesia. Oleh karena itu harus ada pemantauan bakat secara intensif untuk memastikan mereka merupakan pemain yang tepat untuk Indonesia.
Pemantau bakat atau scout ini merupakan tim yang dipercayai oleh tim pelatih untuk menemukan pemain-pemain berbakat yang pas untuk timnya. Mungkin untuk memantau pemain keturunan diluar negeri akan memakan banyak biaya. Untuk menekannya bisa saja dengan meng-hire scout asal luar negeri yang tinggal di wilayah tempat para pemain keturunan berada. Tentu ini akan lebih murah jika dibanding dengan mengirim tim dari Indonesia ke luar negeri.
Selain pemantauan bakat, para pemain ini juga harus diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya secara langsung bukan hanya dari laporan dan video. Harus ada kesempatan mereka bermain di Indonesia dalam suatu pertandingan selama 1-2 minggu. Tentu ini akan menjadi kesempatan untuk para pelatih timnas untuk melihat kemampuannya secara langsung. Sehingga pemain yang dinaturalisasi merupakan pemain yang benar-benar tepat bagi Indonesia.
Pembinaan Usia Muda
Tanpa melupakan pembinaan usia muda di Indonesia, naturalisasi juga bisa menjadi salah satu bagian dari pembinaan usia muda. Menurut aturan FIFA, selama belum membela suatu Negara di level senior di pertandingan resmi (bukan persahabatan), pemain itu dapat bergonta-ganti negara di usia muda. Ini kesempatan untuk pemain-pemain muda keturunan Indonesia untuk membela Indonesia tanpa mereka harus takut memikirkan kewarganegaraan karena mereka masih bisa dual nationality selama mereka berumur dibawah 18 tahun menurut aturan kewarganegaraan Indonesia.
Namun hal itu baru akan bagus bila pembinaan usia muda di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Tidak bisa dipungkiri pembinaan usia muda di Indonesia masih belum tersinkronisasi dengan baik. Tidak adanya turnamen usia muda yang berkesinambungan membuat bakat-bakat Indonesia tidak terasah dengan baik.
Bisa kita lihat bahwa sebagian besar pemain timnas U19 bukan produk suatu klub di Liga usia muda. Mereka sebagian merupakan pemain-pemain SSB yang bermain di kota masing-masing. Hanya sebagaian dari mereka yang bermain di liga usia muda secara regular, yaitu pemain-pemain didikan SAD di Uruguay. Dan mereka bisa seperti sekarang merupakan produk dari latihan jangka panjang selama bertahun-tahun.
Program latihan jangka panjang berbulan-bulan atau bertahun-tahun mungkin akan menciptakan timnas yang kuat, namun mereka tidak akan menghasilkan pemain-pemain yang kuat. Pelatnas akan menciptakan belasan hingga puluhan pemain kuat. Itu merupakan pemain yang dipanggil pelatnas. Namun jika terdapat liga usia muda yang berkesinambungan, itu akan menghasilkan ratusan pemain kuat yang bisa membela timnas kapan saja. Karena mereka terasah dalam suatu kompetisi yang mempertemukan ratusan pemain muda untuk bertarung menjadi lebih baik.
Saat ini kompetisi usia muda professional baru ada LSI U21. Itu pun hanya klub-klub LSI yang bermain. Kita juga mempunyai turnamen usia muda seperti Danone Nation Cup U12 atau LKG U14. Namun itu tidak tersinkronisasi dengan baik. LKG U14 bahkan hanya kawasan Jabodetabek. Tentu bakat-bakat Indonesia tidak hanya ada di kawasan Ibu Kota. Tentu ini memprihatinkan. Lipio atau Liga Pendidikan Indonesia juga tidak ada gaungnya. Padahal bila termanage dengan baik, bukan tidak mungkin Lipio ini merupakan basis bagi pembinaan usia muda sebelum para pemain bermain di klub professional di usia 15 tahun. Piala Suratin yang juga merupakan turnamen usia muda juga belum bisa menjadi turnamen acuan usia muda.
Coba bayangkan bila tim-tim di LSI dan divisi Utama (kurang lebih 60an klub) mempunyai tim usia muda mulai usia U13, U14, U15, U16, U17, U18, U19, U21 dan bermain dikompetisi regular. Bayangkan juga jika Lipio juga berjalan beriringan dengan tim-tim muda klub professional. Lipio SD akan menjadi basis perekrutan tim U13, Lipio SMP akan menjadi basis untuk U14, U15 dan U16. Begitu juga untuk Lipio SMA. Kemudian Piala Suratin yang mempertandingkan daerah-daerah di Indonesia juga berjalan parallel dengan Lipio dan tim muda professional. Pemain-pemain asal daerah bersangkutan tentunya akan berasal dari Lipio dan tim muda professional itu, sehingga ini seperti pelatda. Dari kompetisi-kompetisi skala provinsi dan nasional yang regular, bakat akan lebih mudah ditemukan dan diasah.
Berjalan Beriringan
Naturalisasi yang baik dan pembinaan usia muda yang berkesinambungan serta pengelolaan liga professional yang benar-benar bagus akan menghasilkan timnas yang kuat. Bukan hanya timnas senior, namun timnas usia muda. Bayangkan bila dahulu seorang Radja Nainggolan atau Gio van Bronckhost pernah bermain di level junior timnas usia muda, mungkin keterikatan mereka dengan Indonesia akan lebih kuat dan memutuskan bermain untuk Indonesia. Bayangkan  pula pemain muda berbakat Indonesia yang bermain di timnas junior Negara-negara kuat di Eropa juga diberi kesempatan bermain di level junior Indonesia, pasti akan lebih kuat timnas usia muda Indonesia dan memacu pemain muda untuk lebih berkembang. Seperti Emilio Audero Mulyadi yang bermain di Timnas Italia U17 dan Ezra Walian di Belanda U17.
Naturalisasi bukan penghalang perkembangan pemain local Indonesia, naturalisasi adalah stimulus dan pemacu untuk para pemain Indonesia agar lebih baik lagi. Pembinaan usia muda, liga professional dan naturalisasi merupakan kunci untuk Indonesia menuju Dunia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun