Analisis wacana kritis (AWK) merupakan sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Analisis wacana yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pemahaman mendasar analisis wacana adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Pada akhirnya, memang analisis wacana kritis menggunakan bahasa bahasa dalam teks yang dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis dalam AWK berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa yang dianalisis oleh AWK bukan menggambarkan aspek bahasa saja, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks dalam hal ini berarti bahasa yang dipakai untuk tujuan tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. AWK melihat bahasa sebagai fakta penting, yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan-ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat.
Teun van Dijk (1998) menyatakan bahwa AWK digunakan untuk menganalisis wacana-wacana kritis, antara lain politik, ras, gender, kelas sosial, hegemoni, dan lain-lain. Selanjutnya Fairclough dan Wodak (1997: 271-280) meringkas tentang prinsip-prinsip ajaran AWK seperti berikut ini:
1) Membahas masalah-masalah sosial
2) Mengungkap bahwa relasi-relasi kekuasaan adalah diskursif
3) Mengungkap budaya dan masyarakat
4) Bersifat ideologis
5) Bersifat historis
6) Mengemukakan hubungan antara teks dan masyarakat
7) Bersifat interpretatif dan eksplanatori
Analisis Wacana Kritis untuk Menggali Suatu Ideologi
Secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang ide-ide sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu, dan pengetahuan. Batasan ideologi adalah sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan. AWK mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui wacana. Fairclough mengemukakan bahwa AWK melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial. Praktik wacana menampilkan efek ideologi.
Ideologi merupakan konsep sentral dalam AWK, misalnya wacana sastra adalah bentuk ideologi atau pencermina dari ideologi tertentu. Ideologi ini dikontruksikan oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strateginya adalah membuat kesadaran khalayak, bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Ideologi dalam hal ini secara inheren bersifat sosial dan AWK melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial.
Studi kritis terhadap bahasa menyoroti bagaimana konvensi dan praktik berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh masyarakat. Beberapa pokok pikiran tentang studi kritis terhadap bahasa adalah:
- Wacana dibentuk oleh masyarakat
- Wacana membantu membentuk dan mengubah pengetahuan serta objek-objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial
- Wacana dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi
- Pembentukan wacana menandai adanya tarik-ulur kekuasaan (power struggles)
- Wacana mengkaji bagaimana masyarakat dan wacana saling membentuk satu sama lain
Analisis Wacana Kritis dan Penggunaan Bahasa dalam Konteks Sosial
Analisis wacana berarti menganalisis kaidah, perpindahan, dan strategi tuturan berbahasa sehari-hari dengan konteks sosial yang amat terbatas. Para analis wacana semakin menyadari akan beragamnya pilihan dan keluasan objek penelitian linguistik, yaitu penggunaan bahasa yang aktual dalam konteks sosialnya. Paradigma psikologi dan intelektual disangsikan keakuratannya dalam menganalisis wacana yang sarat dengan berbagai fitur konteks sosial yang luas, seperti gender, kekuasaan, status, etnis, peran, dan latar institusi.
Baik teks maupun wacana secara bergantian digunakan dalam analisis wacana. Kress mengungkap tentang istilah teks dan wacana cenderung digunakan tanpa perbedaan yang jelas. Kejian wacana lebih menekankan pada persoalan isi, fungsi, dan makna sosial dalam penggunaan bahasa. Sedangkan diskusi-diskusi dengan dasar dan tujuan yang lebih linguistis cenderung menggunakan istilah teks. Kajian teks lebih menekankan pada persoalan matrialitas, bentuk, dan struktur bahasa. Brunner dan Grafaen (Wodak, 1996:13) mengemukakan bahwa istilah wacana berakar pada sosiologi, sementara istilah teks berakar pada filologi dan sastra.
Wacana dipahami sebagai unit-unit dan bentuk-bentuk tuturan dari interaksi yang menjadi bagian dari perilaku linguistis sehari-hari, tetapi dapat muncul secara sama dalam lingkungan institusional. Wacana memerlukan kehadiran bersama dari penutur dan pendengar (interaksi face to face), tetapi dapat dikurangi ke arah kehadiran bersama yang temporal (misalnya dalam telepon).
Dalam konteks teori perilaku linguistis, adalah penting untuk menentukan “teks”, perilaku linguistis itu yang materinya dibuat dalam teks dipisahkan dari situasi tuturan umum yang hanya sebagai perilaku reseptif pembaca, dasar umumnya dipahami dalam makna sistematis, bukan makna historis. Dalam teks, perilaku ujaran memiliki kualitas pengetahuan dalam melayani transmisi serta disimpan untuk penggunaan sesudahnya dalam bentuk tertulis yang konstitutif untuk penggunaan istilah sehari-hari.
Oleh karena itu, teks lebih dipandang sebagai fenomena linguistis yang berdiri sendiri dan terpisah dari situasi tuturan. Sementara itu, wacana merupakan teks yang berada dalam situasi tuturan menurut van Dijk wacana adalah teks “dalam konteks”. Dalam wacana terkandung makna konteks yang lebih luas. Wodak merumuskan wacana sebagai totalitas interaksi dalam ranah tertentu (misalnya wacana gender). Wacana itu dikuasai secara sosial dan dikondisikan secara sosial. Untuk tujuan analisis wacana harus dilihat dari tiga dimensi secara simultan (Fairclough, 1995: 98), yaitu teks-teks bahasa, praksis kewacanaan, praksis sosialkultural. Menganalisis sebuah wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut sebagai aplikasi dialektis
Bahasa, Teks, dan Konteks Sosial dalam Analisis Wacana Kritis
Bahasa sebagai Semiotik Sosial
Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna, seperti tradisi, mata pencaharian, dan sistem sopan santun, secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Dalam proses sosial ini, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis, di tempat realitas itu dikerjakan. Dalam tingkatan yang sangat konkret, bahasa tidak berisi kata-kata, klausa-klausa atau kalimat-kalimat, tetapi bahasa berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna. Dalam konteks interpersonal, konteks tempat makna itu dipertahankan, sama sekali bukan tanpa nilai sosial. Melalui tindakan makna sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mendefinisikan sistem nilai dan pengetahuan.
Teks
Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Halliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis data konteks sosial, yaitu suatu cara pengungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Dalam hal ini ada empat catatan mengenai teks yang perlu dikemukakan sebagai berikut:
1) Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantis
2) Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi
3) Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis
4) Situasi merupakan faktor penentu teks
Konteks Situasi
Halliday menyebutkan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks datang pada kehidupan. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Jones memandang medan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusional tempat satuan-satuan bahan itu muncul. Dalam medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap, yaitu ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.
Jones melihat bahwa pelibatan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada hakikat hubungan timbal balik antarpartisipan termasuk pemahaman dan statusnya dalam konteks sosial dan linguistik. Ada tiga hal yang perlu diungkap dalam pelibat wacana, yaitu peran agen atau masyarakat, status sosial, dab jarak sosial. Ada tiga wacana tentang realitas sosial, yaitu:
1) Wacana adalah bagian dari aktivitas sosial
2) Representasi, yaitu suatu proses dari praktik-praktik sosial
3) Wacana menggambarkan bagaimana sesuatu terjadi dalam identitas-identitas konstitusi
**(Dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H