Polemik mengenai masa jabatan kepala desa yang dinaikkan hingga 9 (sembilan) tahun tentu banyak menuai kontra di kalangan masyarakat. Berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.” Yang dimaksud dengan “terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun.
Sementara pada Ayat (2) menyatakan “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.” Kepala Desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode.
Pasal ini sudah pernah dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan No.3/PUU-XX/2022 permohonan pemohon tidak dapat diterima. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan menolak permohonan para Pemohon.
Jimly Asshiddiqie (2010) mengungkapkan bahwa apa yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi yaitu pengaturan tentang pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan. Diperbolehkannya seseorang menjabat kepala desa selama tiga periode (18 tahun) saja bertolak belakang dengan cita-cita hukum dan konstitusi. Norma ini jelas telah mengesampingkan adanya pembatasan kekuasaan apalagi dengan dilakukannya perpanjangan satu periode masa jabatan menjadi 9 (sembilan) tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H