Mohon tunggu...
Anak Zaman
Anak Zaman Mohon Tunggu... -

Aku lahir dari rahim sang waktu/ Ditempa oleh keadaan yang mengelilingku/ Marah kutelan/ Kuteguk api dendam/ Harapan kugenggam/ Sampai aku merasa lelah, sampai aku merasa bosan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

DINA ELIANA MENCARI CINTA

11 September 2010   10:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Berjejer buku di meja belajar, seumpama seorang gadis mereka tersenyum manis menggodaku “Mari” katanya. “Jamalah kami”. Tapi sayang aku tidak sedang berhasrat, jadi kuabaikan mereka.
“Kenapa kamu begitu dingin Jon?” Tanya Romeo end Julietnya Willam Shakespeare. “Tidakkah kamu ingin tau, dimana pada akhirnya Romeo dan Juliet berpelukan, dikubur atau di ranjang?”.
“Jangan hiraukan dia Jon ”Sela Apollogia-nya Plato. “Mari ada Tragedi disini”.
Suara-suara itu terus saja memanggil-manggil, merayu, mengiba layaknya seorang gadis yang sedang dimabuk cinta. Sedang aku masih seperti tadi mengacuhkan saja.
“Malam ini” kataku dalam hati. “aku sedang tidak ingin membaca, aku ingin menulis” Kunyalahkan perangkat komputerku, kubuka program word, setelah jendela program itu terbuka dan kedip-kedip kursor nampak dilayarnya kuletakan jari-jemariku diatas keybord, siap membuat kata pembuka.
“Tapi apa yang ingin aku tulis?” Tanyaku kepada diriku sendiri “Cerita Cinta”. Gumamku pelan. Mendengar itu Romeo end Juliet tersenyum manis padaku “Ayo Jon, jangan ragu, nikmatilah kisahku”.
‘Tidak kamu salah paham. Malam ini aku sedang tidak ingin membaca” Mendengar kata-kata terakhirku Romeo end Juliet tampak murung, tidak kutemukan lagi senyum manisnya.
“Kamu jahat Jon” Erangya penuh kesedihan, andai ia seorang gadis tentu ia akan menangis. Tapi tidak, dia hanya sebuah buku.
Teng! Suara jam dinding memanggil, jarum pendeknya menunjuk angka satu. “Apa yang sedang kamu tunggu Jon? Tidaklah kamu merasa kasihan kepada monitor yang menantimu? Bahkan satu huruf pun belum kamu tulis.”
“Diam kalian!” Bentakku. Tiba-tiba aku tersentak, tersadar akan apa yang aku lakukan. Apa aku sudah gila? Kenapa aku bicara pada mereka?
Kedip-kedip kursor masih setia menanti, kukumpulkan semua ide di kepala, mencoba konsentrasi, tapi lagi-lagi, aku belum membuat kata pembuka, bahkan, seperti kata jam dingding tadi, satu huruf pun belum aku tulis disana.
Sudah dua hari ini aku susah tidur, selalu saja masih terjaga hingga tengah malam buta. Di kelaspun aku tidak bisa konsentrasi pada mata kuliah yang aku ikuti. Semua itu gara-gara perempuan bermata biru. Terbayang-bayang olehku kali pertama aku brtemu dengannya. Waktu itu aku diperpustakaan kampus, sedang terbenam dalam alur cerita novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman.
”Aku Dina Eliana” katanya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri “cukup panggil aku Dina atau Ana saja”
Aku sambut tangannya “Joni” balasku.
“Boleh aku duduk disini Jon?” Tanya Dina sambil mengambil duduk di depanku, senyum manisnya tersungging, merekah.
“Boleh, silahkan, tapi maaf ya, kalau kamu aku cuekin, aku sedang membaca”. “Tak apa Jon, itu bagiku sudah lebih dari cukup”
Kembali kubenamkan kepalaku, konsentrasi pada kisah Fahri yang menjadi tokoh utama dalam Novel yang ada di tanganku.
“Kalau sedang serius kamu tampan juga Jon” Deg! Aku tersentak, seakan ada palu besar yang menghantam jantungku. Sungguh aku tidak menyangkah Dina akan memujiku dengan terus terang. Terbuka sekali dia, bahkan terkesan provokatif, terlalu berani untuk ukuran orang-orang Indonesia yang suka basa-basi. Kudongkakkan kepalaku.
“Kamu bilang apa tadi?” aku takut aku salah dengar.
“Kamu tampan,  Jon”.
“Ha…ha…ha….” Kupaksakan untuk tertawa. Jujur saja aku grogi di buatnya. “Rupanya kamu suka bercanda ya?”
“Tidak, aku serius Jon, aku benar-benar serius menggodamu”.
Jeder! Kini giliran halilintar yang menyambar jantungku. Mataku melotot, tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Seumur hidupku baru kali ini aku alami. Ada perempuan yang begitu berani mengungkapkan perasaan sukanya kepadaku, lebih-lebih yang mengungkapkan itu Dina, gadis cantik nan menawan, orang yang baru saja aku kenal.
“Kamu orangnya benar-benar terbuka ya ?” Kupaksakan untuk tersenyum “Bahkan kepada orang yang baru kamu kenal” Imbuhku.
“Tidak Jon, hanya kepadamu saja aku begitu”.
“Hanya kepadamu saja aku begini” Aku mengulang kata-katanya di dalam hati. Dia bicara begitu seolah-olah telah lama mengenalku.
“Aku takut ada orang lain yang mendahuluiku” Sejurus matanya menatapku ada pancaran aneh di bola matanya, pancaran yang aku tak tau apa artinya. “Atau aku memang sudah terlambat Jon?”
Dahiku berkerut tak mengerti arti perkataannya
“Ah tentu saja aku sudah terlambat, maafkan aku ya, sampaikan juga kata maafku kepada kekasihmu. Aku begini karena aku sangat mencintaimu. oh tidak, tidak seharusnya itu aku katakan, sekali lagi maafkan aku Jon”.
“Cukup !” Benakku tak sadar, hingga menarik perhatian seisi ruangan. Terlebih Ibu Cocok si penjaga perpustakaan, dengan masam dia menunjuk peringatan yang di tempel di dinding “Jangan berisik!”.
“Mungkin ada yang salah di antara kita” kuturunkan nada suaraku.
“Tidak Jon”.
“Diam, biar aku lanjutkan, mungkin sekarang aku sedang bermimpi. Dan ini salah satu mimpi burukku, aku berharap aku cepat-cepat terbangun dari tidurku ini”.
“Tidak Jon, kita tidak sedang bermimpi”.
“Oke, aku tidak sedang bermimpi, mungkin aku sekarang sedang berhalusinasi, berkhayal atau mungkin aku salah minum obat tadi malam. Tapi yang pasti, tidak seharusnya aku bertemu denganmu hari ini. Jadi cukup kita sampai disini saja” Aku bangkit dari dudukku bergegas meninggalkan Dina. “Wanita Aneh” gumanku .
ups! Aku tersadar dari lamunanku. Lagi-lagi perkenalanku dengan Dina terbayang dibenakku. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku jadi sering memikirkan Dina. Apa itu karena aku terpesona akan kecantikannya? Atau itu karena keberaniannya mengungkapkan perasaannya kepadaku? Atau mungkin Karena kedua-duanya.
Kalau  hanya melihat kesempurnaan fisik, aku bisa saja membuat seribu satu macam alasan untuk mencintai Dina. Wajar saja aku bilang begitu, karena aku yakin lelaki manapun yang ada di dunia ini yang waras akal pikiranya atau tidak ada kerusakan di alat penglihatannya, aku jamin akan tertarik dengan Dina, bisa jadi langsung jatuh cinta. Rambutnya hitam lurus sebahu, hidungnya mancung, bibirnya yang seksi, wajahnya ayu, kulitnya yang putih, dan mata birunya itu, sungguh sangat-sangat menawanku.
Akan tetapi keberanian Dina dalam mengungkapkan perasaannya justeru membuat aku curiga, bisa jadi aku merasa takut, karena sangat jarang orang seperti dia sangat mudah didapatkan, apalagi terkesan murahan seperti Dina, ah, kenapa aku jadi berpikiran macam-macam. D-I-N-A-E-L-I-A-N-A. Tanpa sadar kuketik namanya dilayar komputer.
“Jon, lagi ngapain sih?” Tahu-tahu Ucok sudah berdiri di belakangku, membuyarkan lamunanku. “Itu siapa Jon?”
“Apa?”
“Itu” Tangan Ucok menunjuk ke arah monitor.
“Bukan siapa-siapa. Tadi aku sedang menulis cerpen tapi sayang baru nama tokohnya saja yang aku tulis”.
“Jangan bohong kau”. Pasti kamu tadi sedang memikirkan perempuan yang bernama Dina, iya kan? ngaku sajalah kau”
“Tidak, buat apa aku berbohong”
“Itu buktinya” sekali lagi Ucok menunjuk kearah monitor
“Apa artinya sebuah nama”  kukutip kata-kata bijak William Shakespeare.
“Apa kalau yang aku ketik itu Joko terus kamu anggap aku ini Homo, begitu?”
“Itu lain soal Jon”
“lain bagaimana?”
“Kalau kamu benar-benar tidak sedang memikirkan Dina, kenapa kamu sampai tidak sadar kalau aku sudah berdiri di belakangmu dari tadi”
“Itu karena aku sedang konsentrasi pada cerpen yang akan aku tulis”.
“Oya, konsentrasi ya, pintar kali kau mengelak”
“Oya  pintar kali kau menuduh ya” ledekku memakai logat Medannya.
“Masih juga kau mengelak, biar nanti ku adukan kau sama Nafsah, tau rasa kau nanti”
“Hai Ucok, suka kali kau buat isu. Apa kata dunia nanti kalau Naga Bonarnya sekarang jadi penggosip, ha!”.
Tidak ada balasan, hanya senyum Ucok menyeringai penuh arti
****
“Ini Jon, ada titipan buatmu” Anton menyerahkan sepucuk surat kepadaku, surat bersampul biru.
“ Dari siapa Ton?”
“Dari Dina katanya, tadi aku bertemu di gedung serba guna”. Lagi-lagi Dina benar-benar nekad perempuan yang satu ini. Apasih yang dia inginkan dariku? Dia sendiri sebenarnya siapa? Lama-kelamaan bikin keki juga nih anak, baru kenalan tapi kelakuannya sudah merepotkan, menambah beban pikiranku saja. Gerutuku dalam hati.
“Dari Dina ya Ton?” Tanya Ucok, dijawab Anton dengan anggukan kepala. “Berarti hebat juga kawan kita ini Ton”
“Hebat apanya, kalau sekedar dapat surat dari perempuan apa hebatnya. Kalau boleh aku sombong sudah berapa kali aku dikirimi surat, apalagi yang namanya ditembak perempuan duluan, tidak terhitung Cok,”.
“Bukan begitu maksudku. Maksudku kawan kita ini, si Joni, dia bukan hanya pintar bikin cerpen, tapi dia juga bisa menghidupkan tokoh dalam cerpennya di kehidupan nyata”
“Yang benar Cok?”
“Makanya kalau kau tidur jangan mirip kerbaulah. Asal kau tau, kamaren malam dia ngomong sedang bikin cerpen tentang seorang yang bernama Dina. E, hari ini , si Dina kirim surat sama Joni, apa tidak hebat namanya”.
“Benar Jon?”
“Jangan dengarkan bualan si Naga Bonar Penggosip itu”
“Sudah kau bacalah dulu Jon, barang kali si Dina mau pasangan dalam cerpen itu kau Jon” Ledek Ucok.
Kubuka sampul surat dari Dina, kubaca barisan kalimat yang tertulis didalamnya.

“Diakah orang yang telah mendahuluiku, diakah yang telah mencuri hatimu Jon? Iya tentu saja Nafsah. Tadi di kantin tidak sengaja aku dengar obrolan Nafsah dengan kawan-kawannya. Dari situ aku tau kalau Nafsah itu kekasihmu. Kalian memang pasangan yang serasih. Aku tidak keberatan kok bersaing dengan Nafsah. Nafsah memang pantas menjadi sainganku”
Ttd
Dina Eliana

Hanya itu yang Dina tulis. Entah apa yang harus aku lakukan, haruskah aku berterima kasih kepada Dina, karena ia mencintaiku, ataukah aku harus membencinya, karena ia sama sekali tidak peduli akan hubungan yang telah aku jalin dengan Nafsah. Mungkin akan lain ceritanya kalau aku masih sendiri ketika Dina mengungkapkan rasa cintanya kepadaku. Tapi sekarang sudah ada Nafsah disisiku. Apa dia pikir aku harus menyingkirkan Nafsah dari hatiku, enak saja, tidak semudah itu.
“O..o.., kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya “Terdengar suara Anton mendendangkan lagu milik group band Mata.
“Tutup mulutmu Ton. Jangan biarkan si Bau Naga penggosip itu merusak otakmu”.
“Lagi-lagi Ton, kau nyanyikan lagi lagu itu” si Ucok menyemangati Anton.
“O…o… Joni ketahuan pacaran lagi dengan dirinya namanya Dina” kembali Anton berdendang, sekarang dengan Ucok yang menjadi beking vokal.
“Sial ”Aku memaki dalam hati “Dasar bajingan kalian”
****
Jarum jam ditanganku menunjukan angka 7: 25 menit masih ada 5 menit lagi sebelum mata kuliah dimulai. Kupercepat langkahku menuju kelas. Kelasku berada di Lantai 2 Gedung Fakultas Hukum, letaknya tidak jauh dari gerbang utama pintu masuk kampus. Dari depan gedung itu aku cukup naik tangga sekali, belok kiri, setelah melewati kelas AI sebelum kelas AIII disitulah kelasku, kelas AII Fakultas Hukum.
Baru saja aku menginjakkan kaki di lantai 2, ketika aku lihat dari depan kelas Anwar menunjuk kearahku “Itu dia datang” katanya kepada lelaki setengah baya disampingnya. Aku dekati mereka.
‘Om  ini tadi mencarimu Jon” Anwar memberi tahu.
“Pagi  Om” Sapa ku kepada lelaki yang dimaksud.
“Pagi”. Balas lelaki itu “perkenankan nama saya Sanusi” diulurkan tangan kanannya kepadaku.
“Saya Joni, Om”. Kusambut tangannya, juga mengenalkan diri. Aku amati  Om Sanusi. Aku taksir umurnya kira-kira 45 tahunan, penampilannya rapi dengan kemeja coklat muda yang dibalut dengan jas berwarna sama, serta sebuah dasi bergelantung dilehernya. Tapi sayang penampilan fisiknya tidak sesuai dengan keadaaan yang tampak tidak bahagia. Ada kecemasan di raut wajahnya, ada kesedihan yang terpancar dari matanya
“ Karena sudah ketemu, saya tinggal ya Om” kata Anwar mohon diri kepada Om Sanusi.
“ Terima kasih ya Dik”
“ Sama-sama Om” balas Anwar, lalu ia pun  masuk kelas
“Apa sekarang kamu ada waktu luang Jon?
“Sebenarnya aku ada kuliah Om, kalau boleh tau kira-kira ada keperluan apa ya, sampai-sampai Om mencariku?”
“Ini tentang Dina, kamu kenal Dina kan?”
“Iya saya kenal” Tentu saja saya kenal, dengan orang yang telah mengganggu konsentrasiku akhir-akhir ini. Ada hubungan apa Om Sanusi dengan Dina ? Tanyaku dalam hati
“Saya ayahnya Dina, Jon” Aku Om Sanusi seakan mendengar isi hatiku. Pengakuan itu sudah cukup membuat aku jadi tegang. Apa yang telah dikatakan Dina kepada orang tuanya? Jangan-jangan sekarang aku akan dimintai pertanggung jawaban karena disangka telah menghamili Dina. Wajar saja aku sampai berpikiran begitu mengingat begitu ngototnya Dina mengejarku. Rupanya aku telah dijebak, kalau saja aku tahu akan seperti ini jadinya tak sudi aku kenalan sama Dina, Sial ! Aku benar-benar sial.
“Emh…. Aku tarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri aku pun berusaha setenang mungkin saat bertanya kepada Om Sanusi.
“Ada kabar apa dari Dina, Om?’
“Sekarang Dina sedang dirawat di Rumah Sakit”
Benar dugaanku, aku nembatin rupanya Dina akan melahirkan, tapi tidak, tidak secepat itu. Terakhir kali aku lihat perut Dina belum membesar atau jangan-jangan Dina keguguran? Ya pasti, pasti Dina keguguran. Terkutuklah Dina kalau sampai itu karena perbuatanku
“Sekarang Dina koma, Jon” Imbuh  Om Sanusi. Jelas saja aku makin panik. Jadi sekarang Dina sedang koma setelah mengalami pendarahan akibat keguguran. Akhirnya dengan tidak sabar aku ungkapkan kegelisahan yang berkecamuk dalam hati.
“Jadi sekarang Dina sedang koma akibat mengalami pendarahan karena keguguran. Dan om Sanusi mencariku untuk meminta pertanggung jawabanku, bila Om pikir akulah yang telah menghamili Dina, aku tegaskan Om salah alamat.
“Kamu salah sangka Jon, Dina koma bukan karena itu tapi karena penyakit yang di deritanya”
“Penyakit? Dina sakit apa Om?”
“Kangker otak”
“ Ya Tuhan…….”
Om Sanusi menatapku penuh harap dan dengan iba memohon kepadaku “Tolong Jon, temui Dina, buat ia bahagia untuk yang terakhir kalinya” aku lihat matanya basah.
*****

Setelah memarkirkan mobil aku dan Om Sanusi bergegas menelusuri koridor rumah sakit Cipto Mangunkusumo, di depan ruang VIP kedatangan kami disambut isak tangis seorang perempuan yang tidak lain Ibu Dina.
“Dina, pa ” ratap ibu dina pada suaminya.
“Ada apa dengan Dina, bu?”
“Dina…” perempuan itu tidak kuasa meneruskan kalimatnya. Dipeluknya sang suami dan tumpahlah air mata itu di dada suaminya. Pada saat Om Sanusi mencoba menenangkan istrinya pintu kamar dimana kami berdiri terbuka dan seorang Dokter ditemani perawat keluar dari kamar itu.
“ Relakan kepergiannya pak, bu. Kami sebagai dokter hanya bisa berusaha tapi rupanya Tuhan berkehendak lain” Hibur sang Dokter yang memakai seragam putih sedang di dadanya tersemat pin yang bertuliskan Dokter Adi.
Aku mengerti apa arti dari kata-kata itu. Sungguh aku tidak menyangka begitu cepat Dina singgah di dalam kehidupanku, kemudian ada penyesalan yang menghinggapi kalbuku. Rasa berdosa, juga rasa bersalah kenapa aku terlalu mengacuhkan Dina padahal Dina begitu mencintaiku.
“Silakan”. Dokter Adi mempersilahkan kami masuk ke kamar. Di dalam kamar aku melihat Dina terbaring tenang, ada senyum manis kegambar dibibirnya, senyum termanis yang belum aku temui sebelumnya. Senyum seseorang yang begitu bahagia.
Sebuah sentuhan aku rasakan di pundakku “ kamukah yang bernama Joni?’. Tanya ibu Dina masih dalam isak tangisnya.
“Iya Tante, maafkan saya tan, saya……” tak sanggup lagi aku teruskan kalimat ku, ada rasa bersalah dihatiku, andai saja aku tau lebih awal. Tak sanggup begitu saja aku mengabaikan Dina.
“Dina sering memanggilmu Jon, dia terus saja menyebut-nyebut namamu”
kutelan ludahku, kerongkonganku terasa kering
“Ini, ada surat untukmu, Jon. Ia sempat menulisnya sebelum ia jatuh koma”. Ibu Dina memberikan surat bersampul jingga kepadaku, dengan tangan bergetar kuterima surat itu dan akupun membaca.

“Ku tulis surat ini untuk mu, Jon. Engkau yang aku puja saat mentari terbit, saat tenggelam, bahkan saat malam datang.tahukah kamu jon, aku langsung jatuh cinta padamu pada pandangan pertama Waktu itu kamu sedang berorasi di depan gedung MPR. Saat kita demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM ku dengar katamu  begitu bersemangat, tegas dan berani. Kata-katamu bagaikan mantra yang sanggup menggetarkan hatiku. Mungkin kamu tidak tau diantara sekian banyak mahasiswa, ada seorang gadis yang begitu terpesona oleh uraian yang kamu berikan, gadis itu adalah aku.
Detik demi detik, detik berganti jam, jam berganti hari, haripun silih berganti, datang dan pergi. Dan perasaan cintaku padamu semakin bertambah. Tapi Jon, apa yang bisa aku lakukan, sebagai perempuan tak mungkin aku mengungkapkan perasaanku. Akupun di paksa untuk puas hanya sebatas mengagum mu saja, melihat dari kejauhan, memujamu diam-diam, padahal kita satu kampus Jon, padahal jarak kita teramat dekat, tapi bagiku kamu terasa begitu jauh.
Aku masih terus menikmati kebahagiaan dalam hidupku, sampai pada akhirnya aku ditikan perasaan takut yang amat sangat ketika tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kedua orangtua ku tentang penyakit yang aku derita, baru aku ketahui bahwa dokter telah memvonis umurku tinggal beberapa hari lagi. Pantas saja ibuku begitu ngotot menyuruh aku berhenti kuliah setelah aku sembuh dari sakit. Memang aku pernah di rawat di rumah sakit? Beberapa hari setelah aku pingsan sehabis pulang kuliah. Waktu itu aku tidak menyangka kalau kangker ganas telah menyerang otak di kepalaku
Semenjak mengetahui kenyataan itu aku bertekad untuk membahagiakan diri di sisa umurku, aku bertekad mencapai cintaku, cintaku padamu, semenjak itu juga aku tidak lagi bersikap pasif menunggu hingga kamu melihatku., mengagumiku, menyatakan cintamu padaku. Maka mulailah aku mendekatimu. Mengajak kamu kenalan dan menggodamu. Sampai mengungkapkan perasaan cintaku padamu.
Kamu pasti heran melihat aku terlalu agresif, mungkin juga kamu membenciku karena mengejar-ngejarmu. Sempat juga terlintas dalam benakku untuk menyampaikan alasanku yang begitu ngotot ingin mendapatkanmu. Tapi niat itu aku urungkan, karena aku tak mau kamu mencintaiku semata-mata karena rasa kasihan.
Aku egois ya Jon? Aku hanya mementingkan kebahagianku sendiri tanpa mau memikirkan kebahagianmu. Tapi Jon, salahkah aku menginginkan kebahagiaan dari orang yang aku cintai? Salahkah aku bila ingin merasakan kebahagiaan disisa hidupku?
Akh, aku benar-benar egois ya Jon? Karena itu maafkan aku Jon. Sekali lagi maafkan aku. Sekarang aku sadar bahwa cinta dan kebahagiaan tidak mungkin lahir dari paksaan. Dan tidak sepatutnya sisa umurku aku gunakan untuk menyakitimu juga merusak hubunganmu dengan Nafsah. Sampaikan juga kata maafku pada Nafsah ya Jon, karena aku telah menggoda kekasihnya, kalian memang pasangan yang serasi, kudo’akan kalian bahagia. Selamat, aku ucapkan untuk kalian”
T T D
Dina Eliana

Kututup surat dari Dina, dadaku terasa sesak “Salahkah aku bila ingin merasakan kebahagian di sisa hidupku?” Pertanyaan itu bagai sebilah pedang yang menusuk jantungku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun