"Canda tawa dan suasana keramahan masih membekas dibenakku, meski acara tunuha sudah berakhir tiga bulan silam".
Tatkala itu dibulan November 2019 masyarakat Desa Liangkobori Kecamatan Lohia Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara mengajakku pada suatu acara yang mereka namakan Tunuha.Â
Acara ini adalah kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dilakukan hingga kini, juga sebagai bentuk rasa syukur akan hasil panen yang diberikan sang pencipta alam semesta.
Tergambar sikap gotong royong masyarakat mempersiapkan acara ini. Tertonton dihadapanku semua masyarakat, tua, muda, laki-laki dan perempuan mengambil perannya, bahkan nilai keakraban dalam hubungan kekeluargaan terjalin cukup erat.
Oh, ia. Tunuha ini sebenarnya makanan berbahan dasar ubi kayu yang dicampur dengan bahan alami lainnya lalu dikemas didalam bambu atau daun pisang berbentuk piramida kecil lalu kemudian dibakar.
Persipan pengolahan bahan adonan tunuha dilakukan oleh para perempuan sementara yang laki-lakinya, mempersiapkan lubang dan batu beserta kayu bakar, lalu batu dan kayu ini disusun rapi seperti api unggun diatas lobang yang telah dibuat.
Proses ini belum selesai sampai disitu. Pada malamnya batu dan kayu yang telah tersusun rapi, dibakar selama 1 jam hingga berwarna merah membara. Setelah itu, adonan yang telah diisi dalam bambu dan daun pisang berbentuk Piramida tadi
Selanjutnya batu dan kayu yang telah menjadi bara ini disisihkan, kemudian bambu-bambu tadi dimasukan dilubang dan ditutupi kembali dengan batu, daun pisang kemudian dilapisi tanah sampai tidak ada ruang udara didalamnya.
Sambil menjaga tunuha ini sepanjang malam laki-laki dan perempuan bernyanyi berbalas pantun menggunakan syair bahasa daerah, oleh masyarakat suku Muna disebut Modero.
Setelah tertidur sejenak, pagi buta menuntunku menghampiri  area pembakaran batu. Penantian delapan jam terbayar dengan rasa gurih dan nikmat tunuha. Kearifan budaya yang selalu kukenang.