Prostitusi memang tak mengenal ruang dan waktu. Bisnis esek-esek ini sudah merambah ke seluruh penjuru, tak terkecuali di kalangan mahasiswi sendiri tertentu disejumlah perguruan tinggi di Bandung. Sebagian generasi intelek ini tak sedikit yang terjerumus ke dalam jaringan prostitusi terselubung.
Tak mudah mengungkap fenomena bisnis prostitusi di kalangan anak kampus. Jaringan mereka tertutup, hingga sulit bagi orang kebanyakan untuk mengetahuinya. Mahasiswi yang melakukan praktik bisnis syahwat ini tenar dengan sebutan “Ayam Kampus”.
Menilik dari namanya, mengapa disebut ayam kampus, saya berpendapat mungkin karena sifat dan perilaku yang menyerupai ayam sebenarnya, yakni dibeli dan dicari, dipelihara dan diberi makan bahkan terkadang dilepas dari kandangnya, dapat disantap dengan berbagai menu dan tentunya dapat diperjual-belikan kembali.
Bandung memang menawarkan sejuta pesona bagi siapa saja, termasuk bagi para mahasiswa luar kota yang ingin mengenyam pendidikan di kota kembang ini. Hal ini yang secara tidak langsung membawa pengaruh untuk mahasiswa-mahasiswa yang asalnya tidak tergiur dengan pesona kota, secara sedikit demi sedikit akan terpengaruhi oleh lingkungannya, terutama oleh lingkungan pergaulan.
Hal ini menjadi salah satu pemicu mahasiswi ini untuk memilih menjadi ayam kampus, dengan begitu mereka cepat mendapatkan uang dan segala kebutuhan-kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Pergaulan bebas menjadi faktor penting yang melatarbelakangi perbuatan mereka. Dengan menjadi ayam kampus memang sangat mudah mendapatkan uang dan itu menjadi alasan mengapa mereka nyaman dengan kehidupan seperti itu.
Untuk mendapatkan ayam ini, biasanya melalui komunikasi dari mulut ke mulut atau ada juga yang langsung hunting ke lokasi atau TKP. Biasanya, bagi mereka yang biasa, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan ayam kampus ini, karena memang, insting sesama “hewan” sangatlah kuat daya interaksinya, namun bagi mereka yang tidak mengenal ayam ini, bukan kepalang sulit dan susahnya untuk mendapatkannya, bahkan mengetahui keberadaan ayam ini pun sangatlah sulit.
ini cerita saya berkelana mencari 'ayam' yang susah untuk ditangkap. bukan ayam biasa, tapi ayam yang menempuh pendidikan di dunia pendidikan, dengan nama tenarnya "ayam kampus".
Untuk membuka dan mengetahui tabir bisnis prostitusi ini, saya mencari celah penghubung dari dalam maupun luar kampus. Sudah lima kali saya gagal bertemu ayam kampus, dan sekali lagi saya akui memang bisnis ini sangat sulit untuk diungkap ke permukaan, karena berhubungan dengan penjagaan mereka agar tidak ketahuan akan profesinya oleh banyak orang, sekalipun sudah saya iming-imingi dengan uang bila bersedia bertemu dan mengobrol dengan saya, karena satu hal, ayam-ayam ini menjaga diri dia harus berkomunikasi dengan siapa.
Pilihan terakhir saya, saya coba peruntungan dengan bertanya kepada teman perempuan saya yang satu kampus dengan saya, dan ternyata dia bisa membantu. Saya kembali bertemu dengan teman saya Nurul (nama samaran) untuk membicarakan masalah negosiasi tentang apakah temannya bisa membantu membagi ceritanya atau tidak.
Dari 6 kampus swasta dan 1 kampus negeri yang saya coba terobos untuk mengorek info tentang ayam kampus, akhirnya dengan bantuan teman saya Nurul, saya berhasil mendapatkan satu ayam kampus dari salah satu kampus swasta terkenal di Bandung dan keuntungan bagi saya, Panda (nama samaran) bersedia untuk berbagi kehidupan sisi lain dirinya, dengan sebuah imbalan rupiah saya berhasil mendapatkan info yang saya perlukan.
Panda (20), adalah salah satu mahasiswi jurusan manajemen yang akan memasuki semester VI dari sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Perempuan berwajah oriental ini menggeluti kehidupan ayam kampus sejak 2 (dua) tahun lalu ini secara santai bercerita tentang sisi lain kehidupan kampusnya. Panda mengaku, dirinya terbawa oleh gaya hidup hedonisme dan kebutuhan ekonomi pastinya. “Udah kebawa gaya hidup aja, kalo minta ke orang tua ga tega aja, pengaruh lingkungan juga yang hedon dan aku udah terlanjur nyaman jadi ga bisa lepas,” ujar perempuan asli Banjaran ini.
Panda mengaku, dirinya pertama kali terjun ke bisnis esek-esek ini karena pergaulan di EO-nya. “aku anak lebel, jadi emang udah dunianya kayak gitu, kayak yang DJ itu kan suka ada nama lebelnya, aku ikut EO kayak gitu,” ujar bungsu dari 2 bersaudara ini.
Dalam sebulan, Panda mengaku kencan dengan pria lain hampir 2-3 kali, jadi bisa dibilang hampir sepekan sekali. Untuk pelanggannya, Panda mengaku biasa main dengan kalangan mahasiswa kampus lain. “biasanya dari kalangan mahasiswa sih, kalo om-om aku ga mau, soalnya ya gitu loh secara om-om,”, ujarnya.
Untuk patokan harga,panda sendiri tidak bersedia memberitahu berapa nominal/kisaran rupiah yang ia dapatkan bila kencan dengan pria lain, “iya ada patokan harganya, tapi saya ga bisa bilang berapanya, rahasia perusahaan, tergantung juga gimana orangnya, tapi kalo main sama pacar pastinya cuma-cuma,” ujarnya sambil tersenyum santai.
Panda belum bisa memastikan hingga kapan ia akan melakoni hal ini. Kendati demikian, ia bertekad akan berhenti jika dirinya mendapatkan pekerjaan tetap dan bila sudah menikah. “ada sih niat untuk berhenti, entar kalo udah nikah kayaknya,” ujar perempuan berkulit putih dan berambut sebahu ini menutup perbincangan kami.
Prostitusi dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru, akan tetapi hal tersebut masih menjadi tabu karena praktik prostitusi tersebut masih tertutup atau terselubung, juga minim dari eksposes media massa, tidak vulgar seperti praktik prostitusi pada umumnya. (at)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H