Mohon tunggu...
Urang Tebidah
Urang Tebidah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

maka berlalulah semua itu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negara Demokrasi, Tak Butuh Tuhan?

18 Maret 2011   13:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak yang mengatakan Tuhan adalah penguasa tertinggi di jagad raya ini, Mungkin sekarang tidak, dan perlu dikoreksi keyakinan seperti itu !! Why..?, karena Pernyataan seperti itu hanya sebatas kata dan tidak berlaku di Negara kita Indonesia Raya ini. Di negara demokrasi. Tuhan pada realitanya dipaksa tunduk pada hukum demokrasi. Di Negara ini Tuhan sudah tidak boleh dibawa- bawa dalam acara negara. Kau bisa dituduh mengganggu stabilitas nasional, tidak loyal pada negara, tidak Nasionalis atau memporak-poranda pranata kerukunan Sosial masyarakat.

Tuhan hanya cukup disebut dalam ritual peribadatan. Ya, hanya Cukup sebatas di tempat ibadah. Bahkan, jika bisa, simpan rapat-rapat Tuhan di dalam laci di lemari paling bawah sudut atau bahkan tempat penyimpanan bawah tanah di dalam rumah. Tuhan hanya cukup untuk kita miliki sendiri. Ya, hanya untuk diri kita sendiri. Orang lain tidak boleh tau.

Sebuah hal yang tabu menyebut dan mengumbar yang namanya Tuhan di ruang publik panggung yang bernama demokrasi. Bisa-bisa didakwa tidak toleransi dan melanggar hak asasi manusia, melebihi kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang ada di negeri ini. Tuhan pun tidak boleh di ikut sertakan untuk menentukan apakah ini porno atau tidak, itu halal atau haram, demikian itu etis atau tidak.

Dalam Negara yang menganut "Demokrasi", seringkali Negara di tempatkan jauh lebih tinggi dan lebih mulia daripada Tuhan. Bahkan, Tuhan dipaksa manut dan nurut kepadanya. Tuhan hanya dipakai saat sumpah jabatan.

Makanya, Vox populi, vox dei; suara rakyat adalah suara Tuhan perlu di pertanyakan kembali, Rakyat yang mana dan Tuhan yang mana? Masihkah di Negara kita sekarang berlaku? Mayoritas telah memegang otoritas kebenaran. Kebenaran bukan lagi ditentukan oleh kekuatan dalil dan logika, namun mengikuti jumlah pemegang pendapat tersebut.

Di Indonesia, kita memiliki mekanisme untuk menghitung suara mayoritas dan dukungan rakyat, yaitu lewat pemilu. Ketika Golkar dulu menang sampai lebih dari lima puluh persen, adakah kita dengar suara Tuhan menyertai suara rakyat Indonesia selama tiga puluh dua tahun?

Kata rakyat dalam Orde Baru sering dijadikan bahan untuk mengklaim satu kepentingan. Kata tersebut juga sering dianggap cukup diwakili oleh anggota DPR. Lebih parah lagi, pernah terjadi di suatu masa di Orde Baru, kata rakyat menjadi berkesan sosialisme atau bahkan komunisme, sehingga banyak yang takut dengan istilah ekonomi kerakyatan, misalnya.

Bagaimana di era reformasi?

Pemilu yang tanpa paksaan dan tekanan telah menaikkan kembali citra rakyat yang sempat jatuh di masa sebelumnya. Bagaimana tidak, rakyat yang dulu suaranya tidak didengar (atau seolah-olah didengar dan ditampung) kini bersanding dengan suara Tuhan. Setiap anggota DPR nanti harus menyadari bahwa setiap kata yang mereka ucapkan atas nama rakyat di gedung parlemen adalah 'kata dari Tuhan'; bukan pesan dari sponsor. Dan kita tahu, Tuhan melaknat mereka yang berani mempermainkan kalimat suci.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Demokrasi."][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun