Mohon tunggu...
edwin garingging
edwin garingging Mohon Tunggu... Freelancee Writer -

mantan buruh, beralih 'profesi' jadi pengangguran sambil sesekali berkhayal untuk melanjutkan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sosialisasi Empat Pilar, dan Tentang MPR-RI yang Kalah Greget dari Drama India Uttaran

28 November 2016   13:31 Diperbarui: 28 November 2016   13:44 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kurang dari sepekan lalu, aku pun lupa tepatnya hari apa. Tapi kalau tak silap, ketika itu persis Ba’Da Dzuhur, aku yang asyik berkhayal sambil menikmati sebatang rokok, dan secangkir kopi sachet yang diseduh air dispenser di bawah pohon rambutan tua yang mulai meranggas di tempat kami menumpang tinggal beberapa bulan terakhir kaget, ketika sebuah batu kerikil sebesar kemiri mendarat persis di belakang daun telinga sebelah kiri.

“Setan, kuntilanak, gendoruwo, babi ngepet. Kurang ajar! Lain kali, lihat lihat, wak. Kalau aku mati tiba-tiba karena terkejut, tanggung jawab ente? Jangan gitulah!” mulutku mengumpat tak henti, begitu sadar Wak Nas, panggilan karib sahabat kami Azahari Nasution-lah yang menjadi dalang insiden kecil yang membuatku sport jantung saat itu.

 “ha..ha..ha.. Jangan banyak mengkhayal, lawei. Nanti kesurupan kau! Daripada marangan-angan, etah, ke sosialisasi MPR kita, di dekat rumah ku sana,” tukasnya menyela, diiringi tawa kemenangan karena berhasil membuyarkan lamunanku. Masih dengan tawa yang seolah tak akan berakhir, Nas, yang di antara jari tengah dan jari manis tangan kirinya terselip sebatang rokok putih, sedangkan tangannya mengelus-elus perutnya yang membuncit layaknya perut wanita dengan usia kehamilan di atas 5 bulan berjalan menghampiriku.

 Dia lalu menyebut nama sebuah jalan, yang aku tahu memang letaknya hanya sepelemparan batu dari rumah kediamannya, yang ia tinggali bersama istri, dan kedua putranya yang kini beranjak remaja.“Wak, malas kali aku, ngapain ke sana kalau cuma mau jadi pendengar yang budiman. Anggota MPR itu, yakinnya awak itu itu aja pasti ocehannya,” aku mencoba menolak ajakan Wak Nas, dengan memberi argumen yang aku pikir akan membuat pria bertubuh tambun, yang kerap menyebut dirinya ‘Usman’ ini berlalu pergi.

Namun, kali ini perkiraanku meleset. “Ah,etah ham ma, lawei. Biar kubuktikan sama kau, kalau masyarakat Siantar ini, banyak yang mau semua-semua demi si opat suhi, tak lain,” kata dia, kali ini dengan intonasi yang mulai tinggi. Ya, dia barangkali begitu ngotot mengajakku pergi, sebab dua hari sebelumnya ketika berdiskusi sambil menikmati singkong rebus, kami berdebat sengit. Ketika itu, aku bilang, bahwa tak banyak lagi masyarakat yang bisa dibeli dengan rupiah dewasa ini.  Nas sendiri, punya pendapat yang berbeda.

Singkat cerita, meski malas, aku menyerah, naik ke sadel sepedamotor yang dia kemudikan, yang telah standby sebelumnya.   Hanya butuh 25 menit, Luna,  begitu aku menamai kreta Vario milikku yang kami tumpangi, berhenti persis di pojok lahan kosong yang ukurannya sedikit lebih luas dari lapangan futsal.  Wak Nas yang menjadi ‘joki’, dengan kaki kirinya menyentuh ujung standard, lalu mengunci stang Luna dengan posisi melintang di atas parit kecil, yang menjadi pemisah lahan kosong tersebut dengan bahu jalan yang belum beraspal.

Ia lantas mengarahkan telunjuk ke depan, di mana beberapa buah tenda terpasang, dan puluhan warga yang kebanyakan kaum ibu duduk di bawahnya dengan kursi plastik yang disusun menghadap ke barisan sofa yang dilengakapi meja dengan aneka penganan di atasnya. Hmm, dari jauh aku melihat, salah satu pria yang duduk di sofa itu , adalah seseorang yang aku tahu adalah wakil rakyat, ngantor gedung Parlemen Senayan sejak hampir 10 tahun belakangan. Ya, benar! Sebuah foto diri lengkap dengan jabatan, plus jargon tak lelah berjuang bersama rakyat  terpasang sebagai background  semakin meyakinkanku. Tapi, apakah memang dia benar-benar telah berjuang untuk rakyat yang katanya ia wakili, aku sendiri tak begitu yakin.

Sementara Nas terus ngoceh, sambil sesekali mengarahkan telunjuk ke Toean Politisi, sebut saja demikian, konsentrasiku justru terfokus pada deretan kalimat di bagian atas spanduk background yang terpasang di belakang sofa yang diduduki  Toean Politisi itu bersama sejumlah orang di kiri dan kanannya. ‘Sosialisasi Empat Pilar MPR-RI’ demikian bunyi kalimat tersebut. Kalimat yang sengaja dibuat mencolok, dengan ukuran font dan warga lebih tegas dibandingkan kalimat lainnya di spanduk yang aku taksir ukurannya tak lebih dari 1 ½  x 5 itu.

Sembari terus mengamati tulisan tersebut, dan sesekali memandang ke arah Toen Politisi, yang terlihat didampingi satu atau dua orang, yang aku kenal sebagai pengurus dari salah satu parpol, tak sengaja langkahku semakin mendekat ke barisan ibu-ibu yang duduk di kursi plastik beratapkan tenda di hadapan Toean Politisi itu. Saat beberapa orang terlihat tak terlalu fokus dengan ocehan si Toean Politisi itu, iseng, aku bertanya, “Bu, kegiatan seperti ini (sosialisasi) apa baru kali ini diadakan di daerah ini?” si ibu lantas menjawab, “Nggak dek, udah berulangkali seingat ibu sejak 2005 lalu kalau tak salah,”. Hmmm, penasaran, kembali aku bertanya, “Oohh, jadi sudah sering? Berarti, ibu sudah paham(apa yang dimaksud empar pilar)lah ya,”. “Hahaha, nggak juga lah dek. Cuma, kalau pidato-pidato orang ini setiap ada acara gini, hampir hafal ibu. Karena, yang diomongin itu-itu saja kok, walau orangnya ganti-ganti. Hahaha, lagian dek, kalau kaya ibu sama ibu-ibu yang lain, yang penting sama kita, ‘jelas’, ngga tangan kosong pulang,” jawab ibu berperawakan tinggi besar itu, sambil membetulkan ujung selendang tipis, yang ia fungsikan layaknya kerudung (jilbab).

Mendengar jawaban polos ibu yang memiliki tahi lalat di puncak hidungnya itu, Nas, yang entah sejak kapan menguping pembicaraanku, dengan sedikit hentakan, menarik tanganku untuk berjalan menjauh dari tenda itu. “Udah lawei dengar, kan? Kebanyakan yang datang, cuma demi amplop, uang duduk. Bukan karena ingin tahu apa itu empat pilar! Kacau sudah kita masyarakat ini, lawei. Rusak!,”ketus Wak Nas. Hmmm, dari nada bicaranya, aku yakin, Nas, manyimpan kegusaran.

Dan aku pun, maklum.  Nah, yang aku rasa menarik, sebenarnya, bukan soal ‘jelas’ tidaknya pertemuan itu. Tapi, soal pengakuan si ibu yang bilang, kegiatan seperti itu sudah terlalu sering digelar, hingga ia hafal pidato para politisi yang silih berganti menghelat acara serupa di daerah itu. Tapi, belum lagi aku selesai berpikir, terdengar lagi mulut Wak Nas meracau tak keruan.  “Tak Habis pikir aku, lawei. Bertahun-tahun, selalu ada saja agenda kerja anggota MPR-RI sosialisasi empat pilar, termasuk soal perubahannya. Entah sudah berapa duit habis, tapi, hasilnya nggak jelas, percuma semua keknya.  Tetap saja masyarakat nggak ngerti apa itu Empat Pilar!,” tukas Nas, sambil mendongak ke langit, lantas melepas kepulan asap tebal dari mulutnya.  Tergelitik dengan ocehannya, aku pun bermaksud melontarkan sedikit pendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun