Engkau bahkan tak memberi isyarat
Akan luka lama yang telah kau tahan
Sampai akhirnya engkau tak tahan lagi
Seantero dunia seketika lemas tak berdaya
Satu per satu berjatuhan menyerupai dedaunan di pohonmu
Berguguran diterpa badai
Pertama kali dua
Lalu dua ratus
Lalu dua ribu
Nyawa melayang tiada kendali
Mereka menyebutmu si wabah besar peresah dunia
Mereka yang lain menyebutmu adalah alam raya yang demikian liar
Memporak-porandakan mereka
Umat manusia
Kupikir, yang kedua mungkin cukup bisa diterima akal sehat
Kupikir, bukannya engkau tak mau bersahabat dengan mereka
Namun merekalah yang lebih dulu memporak-porandakan hutanmu
Tempat tinggalmu
Bukan begitu?
Entahlah
Lukamu itu tak bisa dipastikan
Hanya bisa diterka
Sampai kapan itu akan terus kau rasa
Sampai kapan itu akan menjadi pilu bagi mereka
Dan terkaan itu adalah sampai mereka semua menyadari
Bahwa ada keseimbangan lain yang lebih mendesak
Untuk segera diutamakan dan dijaga
Daripada sekedar keseimbangan akan harta dan tahta .*
(ditulis di bawah pohon rindang di tengah kota, 21 Februari 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H