Permasalahan yang berkaitan dengan sampah sudah menjadi perhatian di seluruh dunia. Inovasi dan solusi terus ditawarkan guna menjaga lingkungan yang asri. Pada tahun 2022, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut jumlah timbunan sampah nasional mencapai 21,2 juta ton. Beberapa waktu lalu, Yogyakarta mengalami penumpukan sampah di beberapa sudut kota akibat penutupan Tempat Pengelolaan Sampah (TPS) Piyungan. Penutupan tersebut bukan tanpa alasan, TPS sudah tidak mampu menampung sampah yang ada sehingga mengharuskan terjadinya penutupan. Permasalahan seperti ini biasanya berawal dari individu yang tidak bisa mengelola sampah secara pribadi seperti tidak bisa mengolah sampah organik atau menggunakan plastik secara masif. Penutupan TPS bisa menjadi permasalahan individu karena tidak ada tempat membuang sampah dan sampah akan menumpuk di setiap rumah. Namun jika dilihat lebih luas lagi, masalah dari individu tersebut akan menjadi persoalan publik karena akibat dari individu tersebut yang membuat TPS tidak mempu menampung sampah. Sebaliknya, bisa saja sistem pengolahan di TPS yang kurang efektif sehingga terjadilah penumpukan. Inilah yang C. Wright Mills sebut sebagai Imajinasi Sosiologi, suatu landasan berpikir yang membedakan antara personal problem dan public issue.
Sosiologi imajinasi berusaha memahami permasalahan yang dialami individu bisa menjadi masalah public, Charles Wright Mills memberikan contoh bagaimana fenomena seperti pengangguran atau perkawinan bisa menjadi masalah publik. Misalnya, di sebuah kota terdapat satu orang yang menganggur, itu adalah masalah pribadinya. Namun ketika di sebuah Negara dengan 50 juta pekerja, 15 juta laki-laki menganggur, hal ini merupakan sebuah masalah dan kita tidak bisa berharap untuk menemukan peluang kerja yang terbuka untuk setiap individu. Institusi politik dan ekonomi harus mempertimbangkan solusi dari masalah tersebut, bukan hanya pribadi dan karakter individu. Â
Dalam buku The Sociological Imagination, C. Wright Mills menjelaskan bahwa imajinasi sosiologi memungkinkan seseorang untuk memahami kehidupan batin mereka dan tempat mereka di dunia dalam konteks sosial historis. Imajinasi sosiologis memungkinkan seseorang menghuni berbagai perspektif dan melakukan perjalanan bolak-balik dari mikrokosmos diri ke makrokosmos dunia. Dua kata yang mewakili pandangan yang berbeda ini adalah masalah dan persoalan. Masalah menimpa seseorang dan dialami dalam lingkungan sosial individu tersebut. Permasalahan melampaui kehidupan batin atau konteks pribadi seseorang. Suatu isu muncul di arena publik, mengancam nilai-nilai satu atau lebih "publik". Maksud dari karya Mills adalah untuk membedakan antara personal trouble dan public issue. Imajinasi sosiologi bisa membantu individu untuk berpikir lebih luas lagi, keluar dari pandangan dunia pribadi dengan demikian bisa melihat bahwa peristiwa dan struktur sosial bisa mempengaruhi sikap, perilaku, dan budaya. Seorang individu harus mampu untuk menempatkan masalah pribadi dalam isu isu sosial. Ketika imajinasi sosiologi menjadi landasan dalam berpikir maka individu bisa berpikir jauh lebih rasional sehingga tidak menyalahkan diri atau tingkat yang lebih tinggi lagi.
Charles Wright Mills lahir pada tanggal 26 Agustus 1916 di Waco, Texas. Mills menempuh pendidikan di Universitas Texas pada tahun 1939 hingga mendapatkan ijazah masternya, lalu ia melanjutkan pendidikan di Universitas Wisconsin. Mills banyak menghabiskan karirnya di Universitas Colombia hingga wafat pada tahun 1962. Selama di Universitas Colombia, ia menerbitkan beberapa karya penting seperti: The Causes of World War III (1958), The Sociological Imagination (1959), The Power Elite (1956), dan White Collar (1952).Â
Penulis: Â Â Â Â Â Â Â Â Disky Ananta
Wright Mills, Charles. "The Sociological Imagination."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H