Mohon tunggu...
anakpatirsa
anakpatirsa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angkot

7 Januari 2010   16:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:34 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia ada di setiap kota yang layak disebut kota. Orang mengatakannya sebagai Mercedes Rakyat. Sebenarnya terlalu kasar mengatakannya sebagai angkutan orang miskin. Tetapi apa boleh buat, orang miskin memang merasa layak mendapat angkutan sumpek, pengap, panas dan bau. Orang sangat kaya hanya mengenalnya karena benda berasap tebal itu menyalib seenaknya. Lalu berhenti mendadak seenaknya juga di depan sedan mereka. Orang melarat mengenalnya karena tidak mampu membayar tarifnya sehingga harus berjalan kaki.

Di Jogja--sebelum ada Bus Trans Jogja yang mempercantik Kota Pelajar--ada yang namanya Colt. Jalur yang kukenal melalui Prambanan ke UGM, melewati Hotel Ambarrukmo. Di Janti keneknya melompat turun, menahan ban dengan batu. Menandakan paling tidak sepuluh menit penumpang harus bersabar.

Waktu masih kuliah, pernah kakak temanku datang dari Medan. "Bah, jelek kali," katanya melihat colt hitam jelek berasap tebal dan bersuara mercon itu berhenti di depan kami.

"Ya, sudah. Kita tunggu yang lain." kata adiknya. Padahal kami sudah menunggu sepuluh menit di depan "Kedaultan Rakyat".

Kulihat senyum simpulnya. Kami sama-sama tahu, dari semua Colt yang melewati jalan Solo, tidak akan ada yang lebih baik dari ini.

Colt kedua berhenti seperempat jam kemudian. Bukan hanya lebih jelek, malah sudah penuh. Masih ada dua tempat di pintu, berdiri.

Di colt keempat baru kami naik. "Miskin kali kalian," kata kakak temanku dalam bahasa Batak. Aku tidak mengerti sampai adiknya berbisik. Sekaligus menjelaskan colt di Medan tidaklah separah ini.

Di Solo, (kelihatannya) namanya tetap angkot. Aku menaikinya pertama kali waktu ke Grand Mall. Setelah setengah jam menunggu di pertigaan Pasar Nusukan, benda itu muncul. Membawaku lurus ke arah timur, sama sekali tidak berbelok. Lalu berbalik, berputar 180 derajat. Membuatku heran, bahkan sedikit takut. Apakah sudah melewati Grand Mall? tanyaku. "Belum," jawab keneknya. Membuatku bingung. Mau ke Grand Mall malah berbalik lagi. Setelah satu atau dua kilometer, Angkot berbelok ke arah selatan. Akhirnya aku tahu jalur Angkot dari Nusukan ke Grand Mall: ke barat, ke timur, lalu ke selatan.

Di kota lain? Aku hanya mendengar cerita. Di Padang, angkotnya penuh corat-coret yang bukan asal-asalan. Juga penuh stiker warna warni. Ada fasilitas tambahan berupa full music ber-sound system yang mampu mengalahkan hinggar-bingar sebuah diskotik. Sering kubayangkan apa yang terjadi bila ada angkot hingar-bingar di Solo ini.

Di Manado, angkotnya mencerminkan perilaku orang Manado itu sendiri. Perlente. Walaupun angkutan rakyat, mereka tidak mau duduk berhadap-hadapan seperti di angkot daerah lain. Mereka hanya mau naik angkot yang tempat duduknya lebih ekslusif--bangku-bangku yang terpasang berbaris ke depan. Untuk musik, tidak akan ada lagu dangdut kelas kampung.

Di Kupang? Orang Kupang terkenal suka musik dan suasana ramai. Angkot mereka berisi peralatan sound system yang juga memekakkan telinga. Ada teman yang berkata, di Kupang ada berlaku pepatah "No Music, No Passenger" di dalam angkot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun