Mohon tunggu...
Rudi Yansyah
Rudi Yansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Lampung aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Teknokra sejak 2009

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih Menjadi Guru Perbatasan Indonesia  

30 Januari 2016   18:32 Diperbarui: 30 Januari 2016   18:48 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rukuan Sujuda guru SM3T di Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur

MENJADI pengajar di desa terpencil memang bukan menjadi impian setiap orang, terlebih dengan minimnya fasilitas. Hanya mereka yang berkemauan keras yang ingin berbagi mencerdaskan anak bangsalah yang rela berada di pelosok daerah menjadi pengajar.

“Saat berjalan menuju masjid, kudapati dua anak sedang asyik membaca buku. Kuintip melalui jendela, suaranya pelan, membaca setiap baris kalimat. Buku yang mereka pegang hanya satu, dengan sabar mereka membaca bergantian. Akhirnya kuberanikan masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang ternyata rumah imam masjid yang dijadikan kelas untuk mereka belajar membaca.
Beberapa bulan lalu saat musim hujan, petir menyambar sekolah mereka, menghanguskan segala isinya, tak ada yang tersisa.”

Itu merupakan secuplik kisah Rukuan Sujuda, guru asal Lampung yang mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) yang tertulis di dinding Facebook-nya.

Menjadi salah satu guru pengajar daerah terluar Indonesia (terpencil) membuat mantan jurnalis Lampung Post ini semakin merasakan keberagaman dan toleransi. Potret dunia pendidikan yang belum merata terpampang jelas di depan mata pemuda asal Pringsewu, Lampung, itu. 
Tak jarang Rukuan menulisnya, ingin memberikan inspirasi dan berharap akan banyak sarjana yang ikut mendidik anak-anak daerah terpencil seperti yang dilakoninya.

Gadis kelahiran, Sukoharjo, 22 November 1991 ini mengajar anak-anak di Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan keterbatasan fasilitas.
“Aku sangat terkesan melihat semangat mereka ke sekolah, berjalan kaki 5—10 kilometer untuk bisa belajar di sekolah. Karena kami masuk siang, sering mereka sampai rumah sudah pukul 20.00. Ini menandakan mereka memiliki motivasi belajar yang luar biasa,” kata Rukuan saat membagi kisahnya, Sabtu (24/10), melalui surat elektronik.

Ditempatkan di SMAN 2, Fatuleu Barat, Kupang, menurut Rukuan keterbatasan fasilitas menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya untuk terus mengajar. “Minim sekali di sini, sekolah pun kami masih menumpang karena gedung baru dibangun, jadi harus belajar siang hari. Belum lagi buku cetak dan alat praktikum yang tak ada, juga penerangan anak-anak kalau belajar malam hari,” kata dia.

Rukuan adalah satu dari ratusan pengajar SM3T. Dia ditempatkan sebagai pengajar selama satu tahun di tempat tersebut. “Niat awal ikut program ini adalah ingin mencari pengalaman dan ingin mengetahui lebih jauh potret pendidikan di daerah-daerah terpencil yang kerap ditampilkan dengan berbagai keterbatasannya. Kebetulan aku juga suka berpetualang dan traveling, ternyata sampai di sini luar biasa. Benar-benar mendapat pengalaman hidup yang luar biasa,” kata dara berhijab ini.

Di Kabupaten Kupang, hampir 70% sekolah di daerah terpencil, artinya bangunan sekolah masih semipermanen, kekurangan guru, media pembelajaran, serta akses ke sekolah yang sulit. Selain terkesan dengan semangat belajar anak-anak daerah Fatuleu Barat, ia juga mengaku terkesan dengan toleransi yang sangat dipegang masyarakat setempat.

“Mereka tua muda, anak-anak, ketika bertemu selalu mengucapkan salam, selamat pagi, selamat sore, malam, siang Bu, dan lainnya, mereka sangat ramah,” kata Rukuan.
Selain itu, meski menjadi satu-satunya warga muslim di desanya tempat tinggal, Rukuan mengaku selalu dihargai. Bahkan, setiap menghadiri pesta pernikahan ataupun lainnya, Rukuan menyebut ia mendapatkan makanan khusus. “Bahkan saya seperti pejabat, disediakan tempat makan khusus,” kata dia.

Ia berharap program ini akan selalu ada karena di wilayah timur Indonesia, khususnya Kupang dan Papua, masih sangat membutuhkan sarjana-sarjana yang tergerak untuk mendidik generasi penerus di sana. Karena kondisi pendidikan di Kupang masih banyak sekolah yang satu atap antara SD dan SMP atau bahkan SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun