Paska melewati ajang Pilkada Serentak yang mendorong perhatian luas dari publik selama semester pertama tahun 2017, sesaat lagi publik di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota di Indonesia akan memasuki tahapan Pilkada Serentak 2018. Menurut catatan KPU, tahapan Pilkada Serentak 2018 akan dimulai sejak 22 November 2017 dan pencoblosan pada 28 Juni 2018. Setidaknya 7 -- 8 bulan ke depan, situasi politik di 171 daerah diatas akan lebih dinamis.
Menghadapi situasi tersebut, tak heran jika Presiden Jokowi menaruh perhatian khusus. Perhatian khusus Presiden Jokowi ini setidaknya terbaca dalam pernyataan pentingnya selama 2 pekan terakhir ini. Pertama, Presiden Jokowi mewanti-wanti jajaran kabinetnya untuk solid menghadapi Tahunn Politik pada sidang kabinet paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/8/2017). Kedua, ketika Presiden Jokowi menghadiri Rakernas Projo di Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin, 4 September 2017.
Dibalik pernyataan Presiden Jokowi tentang Tahun Politik ini sesungguhnya tersirat 2 hal penting. Pertama, dari 17 Provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018 tersebut terdapat 3 besar provinsi penentu atau 3 provinsi dengan jumlah penduduk paling besar di Indonesia; Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tentu saja, keberadaan 3 Provinsi tersebut, suka atau tidak suka, akan menjadi bagian ujian tingkat elektibilitas jajaran kekuatan politik Jokowi menghadapi Pemilu 2019.
Oleh karenanya tidak heran jika banyak pihak menilai bahwa pertarungan persyaratan pencalonan presiden dalam UU Pemilu menjadi faktor penting bagi parpol pendukung pemerintahan Jokowi. Kemenangan parpol pendukung pemerintahan Jokowi dalam meloloskan syarat 'berat' dalam pencalonan presiden dalam UU pemilu 2019 adalah langkah awal untuk menguji komitmen parpol-parpol pendukung pemerintah untuk memuluskan jalan Jokowi melaju ke periode kedua di 2019. Meski itu semua harus menunggu hasil gugatan beberapa pihak di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan di Mahkamah Konstitusi pun, jika membaca argumentasi dari pemerintah atau pun parpol pendukung pemerintah, banyak dugaan bakal mudah dimentahkan di MK. Belum lagi pandangan dan pendapat dari pakar Hukum Tata Negara juga telah nyata bahwa Presidential Threshold tidak tepat diterapkan dalam Pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak.
Kedua, tak sedikit pihak yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 ke depan akan banyak dipengaruhi oleh faktor figur calon, seperti yang terjadi dalam setiap ajang pemilihan sebelum-sebelumnya, tentu saja faktor figur Jokowi ke depan akan banyak dipengaruhi oleh penilaian publik terhadap keberhasilan Jokowi memenuhi janji-janji kampanye selama periode pemerintahan Jokowi (2014-2019). Faktor figur Jokowi yang berbasis pada kemampuan 'leadership' Jokowi kepada jajaran kabinet untuk mewujudkan visi misi inilah yang akan menjadi ukuran publik dalam menentukan pilihan politiknya di 2019.
Kepada pilihan pertama yang menjadi perhatian khusus Jokowi, tentu saja belum cukup. Karena untuk pilihan ini, Jokowi harus benar-benar memastikan soliditas parpol pendukungnya. Belum lagi, manuver parpol-parpol pendukung pemerintahan Jokowi yang berbeda di tiap-tiap daerah. Sementara di sisi lain, kepentingan parpol sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan elit politiknya yang sangat mungkin berubah-ubah tergantung situasi politik yang akan berkembang di kemudian hari dan pandangan publik di grass root.
Sehingga pilihan yang paling memungkinkan bagi Jokowi dalam menghadapi dinamika politik, social serta ekonomi yang akan terjadi menjelang Pemilu 2019 adalah memastikan jajaran cabinet yang berada dibawah kepemimpinannya benar-benar mencapai target yang telah ditetapkan dalam pemerintahan.
Oleh sebab itu, ketika menghadapi pilihan kedua yang paling memungkinkan ini, tak heran jika Jokowi terus memberikan peringatan kepada jajaran kabinet agar ketika membuat kebijakan benar-benar memiliki keberpihakan kepada publik, kepada rakyat. Peringatan penting, jika tidak bisa dikatakan khusus ini, bagi publik tentu dimaknai sebagai evaluasi khusus Jokowi terhadap beberapa kebijakan ekonomi dan politik dari jajaran kebinetnya selama 1 tahun terakhir telah menciptakan dampak yang besar bagi elektabilitasnya di Pemilu 2019.
Rillis dari BPS dalam beberapa bulan ini telah menunjukkan bahwa daya beli masyarakat menurun dan tingkat kemiskinan terus meningkat. Faktor yang mempengaruhi peningkatan kemiskinan dan penurunan daya beli masyarakat ini adalah kebijakan pencabutan subsisi TDL 900VA untuk 18.94 juta rumah tangga. Sementara di waktu bersamaan, presiden Jokowi terus menunjukkan kekawatirannya terhadap ketidakpastian perbaikan ekonomi meskipun Menteri-menteri ekonominya terus menyampaikan capaian rating baik dari berbagai lembaga.
Inilah tantangan nyata di depan Presiden Jokowi. Seorang the real leader benar-benar ditunggu langkah konkritnya untuk mencapai target-target yang tertuang dalam RPJMN hingga 2019.