Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Otopsi rekayasa dan Berita Pesanan

27 Maret 2010   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

aldnp 02

[caption id="" align="alignleft" width="360" caption="gb dari http://www.doobybrain.com "][/caption]

“Atur posisi mayat dan motor itu seperti orang jatuh ke jurang yang dalam! Jangan lupa ambil fotonya!” perintah sersan itu.

Para prajurit segera melaksanakan perintah itu. Seorang diantaranya kemudian menyiapkan kamera langsung jadi dan memotret tubuh dan motor yang telah dibuat ringsek, dari berbagai posisi. Setelah mendapatkan gambar yang meyakinkan, diperlihatkannya kepada sersan itu.

“Bagus! Sekarang bawa mayat itu ke Rumah Sakit ‘kita’ dan serahkan ke dokter D. Dan selain itu serahkan foto ini ke wartawan W. Dia wartawan ‘kita’. Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Kasih data-data yang diperlukan!” perintahnya.

“Siap, pak! Kerjakan!”

Di ruang otopsi Rumah Sakit ‘kita’, dokter D segera membuat laporan hasil otopsi atas mayat “pemuda” itu. Umur, golongan darah, dan ciri-ciri tubuh sama dengan yang dimiki pemuda itu. Pada kolom sebab kematian ditulisnya dengan 'patah leher akibat terjatuh dari ketinggian dan membentur benda keras'. ia lalu menandatangani berkas itu dan menyimpannya dalam arsip khusus yang terpisah dari arsip mayat biasa.

Di tempat lain wartawan W, sambil menggeleng kepalanya mengamati foto yang diperolehnya dari seorang prajurit. Ia harus segera menulis berita yang diperlukan untuk korannya, sebelum dead line jam 10.00 malam.

“Moga-moga orang yang malang ini bukan salah satu dari famili saya,” harapnya saat mengakhiri tulisan pesanan itu.

Keesokan harinya telah termuat berita dari sebuah koran ‘kuning’ yang banyak memuat berita kriminal dan gossip murahan:

“Seorang pemuda sekitar 25 tahun kedapatan tewas terjatuh ke jurang sedalam 20-an meter bersama motornya, disekitar hutan Asem Growong yang dikenal angker oleh penduduk setempat. Pemuda malang itu tampaknya sedang ngebut saat menikung di belokan yang tajam di samping jurang itu. Tampaknya ia meninggal akibat lehernya patah, sedangkan motornya ringsek di beberapa bagian”.

Berita itu terselip diantara beberapa peristiwa kecelakaan biasa, disertai dengan foto yang ketajamannya sengaja diturunkan, sehingga detilnya agak tersamar.

Sementara itu …..

Dalam jatuhnya, pemuda itu telah pingsan. Tubuhnya melayang bagai batu meluncur deras menembus udara yang ternyata…semakin ke dalam semakin berat dan padat. Tertahan oleh padatnya udara itu, tubuh pemuda itu melayang turun dengan lembut hingga menyentuh dasar lubang. Ia masih pingsan untuk beberapa waktu.

Saat ia siuman, pelan-pelan ia membuka matanya. Namun semuanya gelap gulita. Ia lalu mengucak-ucak kedua matanya, mencoba melihat dengan lebih jernih, tetapi sia-sia. Semuanya tetap gelap. Tak ada tang dapat dilihatnya, meski samar sekalipun.

“Dimanakah aku? Butakah aku? Mungkin aku sudah mati. Begini rupanya keadaan setelah mati. Tapi kenapa aku mati?”

Tangannya lalu meraba kesana kemari dan menemukan ranselnya masih melekat di punggungnya. Pelan-pelan kesadarannya mulai terkumpul kembali.

“Kenapa aku bisa sampai di tempat ini”, pikirnya.

Ia mulai ingat hal terakhir sebelum ia pingsan, saat ia terperosok lalu jatuh ke dalam lubang. Sebelum jatuh ke lubang ia berlari mencari tempat berteduh. Tetapi apakah gerangan yamg membuat suasana begitu anehnya sebelum badai menerjang.

“Sedang apakah aku saat itu?” pikirnya.

Semuanya masih belum jelas benar dalam ingatannya. Otaknya masih terasa berat untuk bekerja kembali.

Ia lalu membetulkan letak tubuhnya yang masih terbaring agar lebih nyaman, lalu meletakkan kedua tangannya di belakang kepala sebagai pengganjal, sambil terus berupaya mengingat segala sesuatu yang menimpanya. Berangsur ingatannya mulai tertata.

Tadi pagi, selepas bangun ia didatangi kekasihnya dan memintanya segera pergi melarikan diri. Pagi itu sebenarnya udara sungguh terasa segar. Langit yang cerah menyapa dunia dengan senyumnya melalui mentari yang bersinar hangat. Warna kuning keemasan menghiasi bukit di ufuk barat memantulkan panorama indah yang menghampari sawah dan ladang di latar depan. Burung-burung pun tak malu beryanyi, bersahutan menyampaikan salam mereka kepada penghuni bumi. Namun, suasana itu tidak kuasa menolong kegundahan dan kepedihan hatinya. Di halaman depan rumahnya yang mungil itu, sesekali ia merapikan ikatanransel yang diletakkan di bagian belakang motornya. Andaikata ada orang yang melihat,tentu mereka bisa melihat kegelisahan hatinya, yang berulangkali berjalan masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi seakan ada sesuatu yang masih tertinggal. Kadang ia memamandangi hamparan sawah dan gunung itu, namun bukan keindahan yang menyusup ke dalam hatinya.

“Berat rasanya meninggalkan tempat ini. Teman-teman, kenalan, dan penghuni disini telah menjadi bagian hidupku semenjak kecil. Namun semua itu harus kutinggalkan. Aku sudah tidak tahan lagi!,” demikian pikirannya menerawang.

Semua ini demi keselamatan jiwanya yang terancam oleh perbuatan atasannya di tempat ia bekerja.

- Anak Langit Di Negeri Pelangi -

sebelumnya I     sesudahnya

  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun