Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Membongkar Pembelian Fiktif

27 Maret 2010   15:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
//library.thinkquest.org

aldnp 04

[caption id="" align="alignleft" width="150" caption="gb dari http://library.thinkquest.org"][/caption]

Itulah peristiwa seminggu yang lalu. Kemarin pagi motor kesayangannya diledakkan dan tadi pagi ia harus melarikan diri setelah kehilangan segalanya. Dan kini tubuhnya berada entah dimana, menggeletak di tempat yang gelap dan sunyi. Badannya masih terasa lemah untuk bergerak. Tanpa disadarinya terlintaslah rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang kemudian memaksa dirinya mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Gambaran kejadian-kejadian itu terbayang nyata seperti video yang diputar ulang.

Dua bulan sebelumnya ia pernah mengungkapkan adanya kejanggalan dalam pembelian barang-barang persediaan yang nilainya ratusan juta rupiah yang selalu tercantum di dalam anggaran lembaga mereka dalam jumlah dan besaran yang sama. Dari catatan yang ia telusuri, terbukti hal itu sudah berjalan bertahun-tahun. Sudah dua tahun sejak ia bekerja disini, selalu ia dapati mata anggaran itu. Keanehannya terletak pada jumlah dan harga yang sama, seakan tidak pernah ditinjau atau diperbaharui. Merasa ada yang aneh, ia diam-diam menandai semua barang yang selalu tercantum dalam pembelian persediaan itu. Saat pembelian barang persediaan telah selesai dilakukan, diam-diam pula ia memeriksa kembali tempat penyimpanannya. Satu persatu ditelitinya, tetapi tidak dijumpainya barang baru,yang tidak bertanda. Semuanya memiliki tanda tersembunyi yang telah dibuatnya.

“Aneh! Mustinya ada barang baru yang tak bertanda. Kenapa yang ada hanya yang bertanda? Jangan-jangan pembelian itu hanya fiktif belaka. Kuitansinya ada tapi barang yang dibeli ya yang itu-itu juga, barang yang sama. Akan kubuka keanehan ini. Tetapi sebaiknya kutunggu satu atau dua kali pembelian lagi biar kuat pembuktiannya,” pikirnya.

Ternyata dugaannya tidak sepenuhnya benar. Pada pembelian berikutnya didapatinya ada sebagian barang tidak bertanda, tetapi jumlahnya tidak sebesar jumlah yang tercantum dalam kuitansi pembelian.

“Wah, pintar juga mereka. Ini pasti agar terlihat ada kegiatan pembelian secara nyata. Dari bongkar muat ada barang yang benar-benar datang. Kalau begitu akan kita lihat sekali lagi. Yang baru datang ini akan kuberi tanda juga,” ia membatin.

Dugaannya menjadi bulat saat pembelian berikutnya dilakukan. Didapatinya barang-barang itu semuanya bertanda. Berarti tidak ada barang baru yang masuk.

“Data yang saya perlukan sudah cukup. Mereka memang melakukan pembelian fiktif atau kurang dari yang semestinya. Aku akan melaporkannya dalam rapat nanti, tanpa menuduh siapapun. Hanya fakta-fakta berdasarkan data-data ini saja yang akan kusampaikan!” tekadnya.

Pada rapat bulanan berikutnya, ia menyampaikan laporannya secara terbuka.

“Bapak pimpinan dan para peserta rapat yang saya hormati,” ia memulainya.

Awalnya agak tersendat. Namun setelah beberapa saat ia mampu menguasai dirinya dan dengan lancar mengisahkan hasil temuannya secara rinci. Di tengah uraiannya itu, tiba-tiba suasana rapat berubah menjadi tegang. Semua mata peserta menatap tajam ke arahnya, terutama pimpinan tertinggi lembaga tempat dia bekerja. Muka si boss tampak memerah pertanda menahan amarah. Dahinya berkerut disertai dengan tulang pipi yang bergoyang-goyang akibat geligi gerahamnya saling beradu.

“Terima kasih atas laporannya, saudara Andragi,” kata si boss. “Selama ini kita tidak pernah mengetahui kejadian ini dan juga tidak pernah mendengar hal jujur seperti ini. Ini sangat memalukan..!!” katanya sambil menggebrak meja.

Semua kepala tertunduk, tak ada yang berani menatap mata si boss yang menyala-nyala.

“Saya sendiri akan turun tangan menangani perkara ini! Kita akan selesaikan secara tuntas! Siapapun yang bertindak merugikan akan mendapat hukumannya!,” matanya menyapu seluruh peserta rapat.

Peluh dingin terasa mengalir di punggung peserta rapat. Tetapi tidak demikian halnya dengan Andragi. Tampaknya boss justru berterimakasih atas laporannya itu.

“Sekali lagi terima kasih saudara Andragi,” kata si boss.

Peluh terlihat menghiasi wajahnya yang bundar akibat kelebihan lemak.

Dengan penuh rasa lega Andragi melangkah ke luar rapat dan meneruskan pekerjaannya. Tetapi belum seberapa lama, Jira menghampirinya.

“Hei bung, ada kabar baik nih,” kata Jira memancing perhatiannya.

“Kabar baik apaan?” tanyanya menduga-duga mungkin ada kaitannya dengan rapat tadi. Siapa tahu ia akan dapat promosi.

“Nanti saja aku ceritakan. Yang penting habis kerja kamu datang ke rumahku, ok?” undangnya.

“Apaan sih? Kasih tahu aja sekarang!,” desaknya penasaran.

“Tidak! Dan kamu harus datang!” tuntut Jira.

Ada nada berat serta tegas yang menjadi ciri Jira jika ada sesuatu yang serius.

“Dan,.. tolong jangan bawa Nina!” bisik Jira, sama tegasnya.

- Anak Langit Di Negeri Pelangi -

sebelumnya i sesudahnya

  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun