Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kejar dan Habisi Dia!

27 Maret 2010   05:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

aldnp 01

[caption id="attachment_103656" align="alignleft" width="186" caption="gambar arthur Szyk http://rutlandhs.k12.vt.us"][/caption]

Minggat

Langit di bagian hutan itu mendadak menjadi gelap. ya.. hanya di area itu. Udara di situpun tiba-tiba terasa lebih berat dan juga lebih lembab, menekan dada. Suasana terasa menjadi begitu aneh, seakan semakin hening, senyap dan mencekam. Tiada angin berhembus, tiada suara berbisik. Waktu pun seakan berhenti berdetak, tanpa irama kehidupan. Diam…, semuanya diam..! Tak bergerak dan pula tak bersuara.

Pemuda yang sedang berlari itu segera menghentikan langkahnya saat merasakan perubahan suasana yang ganjil itu. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sesuatu dengan bingung.Tetapi tiada siapapun di sekitarnya. Suara serangga atau burung maupun dedaunan yang tadinya menari diterpa angin - yang sejak tadi telah mengiringi langkahnya di dalam hutan itu - kini tiba-tiba lenyap begitu saja. Seakan ia satu-satunya makhluk hidup di hutan itu. Tak ada aroma kehidupan disekitarnya. Bahkan pepohonan juga seperti pergi menjauh, meninggalkannya.

Dalam keterpanaannya itu tiba-tiba halilintar membelah langit diatas kepalanya diiringi suara mendentum keras yang menggelegar memecahkan anak telinga. Bumi pun bergoyang, diikuti dengan angin yang menderu-deru keras menerjang pepohonan. Suaranya bagai seribu siulan setan bersahut-sahutan, memenuhi seluruh hutan. Dan ketika halilintar kembali menyalak, hujanpun tercurah dengan derasnya, seakan seluruh isi langit ditumpahkan seketika.

Sadar tubuhnya terguyur air, pemuda itu segera lari mencari tempat berteduh. Tangannya, tanpa diperintah, menggapaii sesuatu di dalam kantong ransel di punggungnya, namun sia-sia. Payung atau jas hujan itulah benda yang kiranya tak terbawa. Dalam cuaca yang sedemikian gelap dan riuh itu, ia hanya bisa menduga-duga tempat yang mungkin digunakan untuk berteduh. Sementara berlari itu, tampak sebuah bayangan pohon beringin besar terlintas dalam pandangannya yang kabur tertutup tirai air hujan. Kesanalah ia bergegas sambil mempercepat langkahnya. Sementara itu hutan itu semakin menjadi gelap.Sesekali ia terantuk akar dan tertumbuk batang pohon tumbang, namun ia terus berlari menuju pohon beringin itu.

Dan… ketika hampir mecapainya, kaki-kaki yang sudah gontai menopang tubuhnya tiba-tiba terperosok ke dalam lubang yang sama sekali tertutup sebelumnya oleh dedaunan dan semak. Tubuh pemuda itu melayang jatuh ke dalam perut bumi, jauh…. dan jauh sekali…!

Beberapa saat kemudian, di tepi tempat itu muncul sepasukan prajurit, bersenjata lengkap.

“Sersan!! Kemana larinya anak itu!” teriak komandan yang memimpin pengejaran.

“Kesana, pak. Ke arah hutan itu,” jawab yang ditanya.

“Kejar, jangan sampai lolos! Habisi kalau terlihat!” perintah komandannya.

Bergegas kaki-kaki bersepatu lars itu melangkah cepat menyisiri hutan. Moncong senjata api ditangan mereka siap menyalak.

“Pak, ini jejak motornya!” kata seorang prajurit.

“Ikuti jejak itu!” perintah sang komandan.

Mereka mengikuti jejak motor itu hingga tiba di bagian hutan yang lebih lebat. Disana mereka menemukan kuda besi itu tergeletak, seakan dihempaskan begitu saja lalu ditinggalkan oleh penunggangnya.

“Dia berhenti disini, dan berlari masuk hutan pak. Jejak kakinya jelas dan arahnya menuju ranting-ranting yang patah itu.”

“Hei kau..! Amankan motor itu! Yang lain terus ikuti jejaknya! Sisir dengan cermat!”

Langkah-langkah beringas mereka dengan cepat merangsek masuk ke dalam hutan yang lebih lebat, hingga mereka tiba di bagian dimana angin ribut tadi terjadi.

“Jejaknya hilang disini, pak. Aneh! Sepertinya disini baru terjadi angin ribut. Tapi kok, hanya di sekitar sini?”

“Cari sampai dapat! Jangan sampai lolos!” teriak sang komandan.

Mereka menelusuri di seantero hutan itu dengan teliti, tetapi sia-sia. Bahkan anjing pelacak yang kemudian mereka datangkan pun hanya bisa mengendus disekeliling bagian hutan yang terusik angin ribut itu. Tidak ada jejak buruan mereka sedikitpun.

“Ia lenyap begitu saja seakan hilang ditelan bumi,” gerutu komandan itu.

Sang komandan tidak tahu memang itulah yang terjadi. Pemuda itu telah hilang ditelan bumi sesungguhnya.

“Bagaimana, pak?” tanya sersan kepercayaannya.

“Kita tidak boleh gagal! Harus ada bukti kita telah menghabisinya! Kalau pemuda itu tidak ketemu, kamu tahu apa yang harus dilakukan bukan?!!”

“Siap, pak! Kerjakan!” jawab sersan itu

Sersan lalu mengajak beberapa orang prajurit mengikutinya keluar dari hutan. Mereka menuju kearah sebuah desa yang tampak terletak di seberang sawah dan ladang selepas hutan itu. Setelah kira-kira dua kilometer mereka berjalan, terlihat seorang lelaki melangkah santai menghisap rokok sambil membawa cangkul di bahunya. Kiranya ia hendak pulang setelah lelah seharian bekerja di ladang dan sawahnya. Para prajurit itu bergegas menghampirinya.

“Heii, pak. Berhenti!!" teriak seorang prajurit.

Lelaki itu berhenti dan menoleh.

“Pak, antarkan kami ke hutan itu. Kami tidak tahu jalan yang terdekat!” kata si sersan menunjuk hutan tempat mereka mengejar pemuda buruan mereka.

“Tapi, .. hutan itu angker pak,” jawab petani itu takut.

Namun ketika melihat moncong senjata diarahkan ke dirinya, ia hanya bisa bisa mengangguk.

“Ba..baik, pak.”

Mereka kembali ke hutan itu lagi dan begitu sampai disana ... tanpa basa-basi seorang prajurit menelikungnya dan dengan sekali hentak mematahkan leher laki-laki yang tak berdosa itu. Kasihan, ia mati tanpa sempat pamit pada sanak keluarganya. Mereka lalu memakaikan tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan pakaian pemuda buruan mereka yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Sungguh profesional.

- Anak Langit Di Negeri Pelangi -

  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun