Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senyum yang Terindah

28 Maret 2010   03:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

aldnp 06

“Ini Bapak dan Ibu berikan kepadamu sebagai bekal kamu bekerja. Ini satu-satunya benda berharga dalam hidup kita yang bisa bapak dan ibu berikan untuk kamu. Selama ini kamu tidak pernah mendapat benda berharga dari kami dan kamu juga tidak pernah merepotkan kami dengan permintaan. Terimakasih nak atas kebaikan kamu, Kamu adalah anak yang baik, dan teruslah menjadi orang yang baik,” ayah menarik napas dalam-dalam lalu melepaskannya dengan bebas seakan terbebas juga beban yang selama ini menghimpit di dalam tubuhnya.

“Dan lulusnya kamu dari perguruan tinggi adalah hadiah terindah yang paling berharga yang pernah bapak dan ibu dapatkan selama hidup. Dan itu tidak datang dari orang lain, tetapi dari kamu, anak kami. Terimakasih ya nak,.. dan maafkan kami atas kemiskinan yang harus kamu jalani selama ini..,” ayahnya mengakhiri sambil mengusap kepalanya yang tenggelam dalam pelukan ibunya.

Hanya satu minggu setelah kelulusannya itu, ayah tercintanya menghembuskan nafas yang terakhir. Ia pergi dalam senyum menandakan telah usai menunaikan tugas sucinya yang maha berat yakni mempersiapkan putranya menyongsong masa depannya sendiri dengan sebaik-baiknya.

“Tugasku yang maha berat telah selesai kujalankan, kini ijinkan aku untuk beristirahat”, begitu kira-kira kesan yang tertanam kuat di hatinya.

Meski sangat kehilangan, ia tidak merasa sedih atas kepergian ayahnya. Malah seakan orang tuanya itu berbisik kepadanya,

“Teruslah berjuang demi aku!”

Motor itu kini merupakan benda pengganti kehadiran ayah dan ibunya. Ia selalu mengajaknya berbicara seakan berbicara dengan ayah atau ibunya sendiri. Dan percaya atau tidak, ayah atau ibunya memang terasa hadir disana menjawab apa yang dibicarakannya. Oleh karena itu, ia selalu memperlakukan motornya dengan begitu istimewa. Tidak sekalipun pernah dibiarkannya parkir di tempat yang panas atau tidak dilindungi oleh penutup yang khusus dibuatkan oleh ibunya. Tidak pernah pula ia membiarkan motornya tidak di lap atau dibersihkan dengan teliti sehabis dipakainya. Bahkan di rumahnya motor itu memiliki kamar tersendiri, yakni kamar mendiang ayah dan ibunya. Siapapun pastidengan segera dapat membedakan motornya dengan motor yang lain karena mendapat sentuhan tangan yang penuh perhatian dan kasih.

Satu bulan setelah kematian ayahnya, ia mendapatkan pekerjaan yang tetap digelutinya hingga sekarang. Ia merasa cocok dengan pekerjaannya, karena sesuai dengan bidang ilmu yang ia tekuni selama kuliah. Hal itu disampaikannya kepada ibunya, dan juga kepada motornya, alias ayahnya.

“Jadi kamu telah mendapatkan pekerjaan yang sesuai, nak?” tanya ibunya.

“Betul, bu. Saya sangat menyukainya. Dan mulai sekarang ibu tidak perlu berjualan makanan lagi karena penghasilan kita cukup untuk hidup seperti selama ini,” jawabnya.

“Syukurlah kalau begitu. Ibu kini bisa beristirahat.”

Tak disangka kata-kata ibunya itu ternyata bermakna lebih jauh, karena sebulan kemudian orang tua yang senantiasa membanting tulang itu benar-benar beristirahat untuk selama-lamanya. Ibunya pergi dengan meninggalkan senyum yang paling indah yang pernah dilihatnya selama hidup. Keindahan senyum terakhir ibunya itu menjadi hadiah terakhir bagi dirinya, sedikit banyak memupus rasa sedih kehilangan orang yang telah melahirkannya. Ia tahu, ibunya pergi dalam kebahagiaan. Bahkan dalam meninggal pun seorang ibu tetap memberikan kebahagiaan bagi puteranya. Memang benar, surga berada di telapak kaki ibu, begitu yang dirasakannya. Ia merasa kehilangan tetapi tidak bersedih.

- Anak Langit Di Negeri Pelangi -

sebelumnya l sesudahnya



  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun