Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dia yang Berkotbah, Dia yang Korup

28 Maret 2010   10:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:08 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

aldnp 08

Kita tinggalkan kedua wanita yang jadi linglung itu, dan mengikuti Andragi melaju ke rumah Jira. Begitu memasuki halaman rumah sahabatnya itu, Jira telah tampak menunggu di depan pintu. Wajahnya terlihat tidak sabar.

“Kemana saja kamu Gi?” sergahnya.

“Motorku nggak mau diajak ngebut, jadi aku jalan pelan-pelan saja,” jawabnya.

“Ada yang ngikutin kamu nggak?” selidik Jira.

“Ada! Tuh bayanganku.” jawabnya bercanda.

“Diamput kamu. Ditanya serius malah becanda,” umpat Jira.

“Emang kenapa, kok tegang amat kamu?” Andragi mulai merasa ada yang tidak beres.

Segera Jira menggamit tangannya dan diseretnya masuk. Ternyata di ruang tamu itu telah duduk menanti seorang pria yang telah berumur.

“Kenalkan, ini paman Hudi,” kata Jira kepada Andragi. Pria itu mengulurkan tangannya.

“Saya Andragi,” katanya sambil menyambut tangan pria lebih separuh baya itu. Setelah ketiganya mengambil tempat duduk masing-masing Jira langsung berbicara ke persoalan yang akan disampaikannya.

“Begini Gi,” ia memulai. “Setelah rapat tadi siang itu aku langsung menelpon paman Hudi untuk ke mari, karena masalah yang kamu sampaikan itu pernah juga dialami paman Hudi belasan tahun silam. Aku tahu karena paman Hudi pernah bercerita padaku tentang kebobrokan di kantor kita itu, tetapi tidak menjelaskan kebobrokan apa. Cuma beliau berpesan jika aku mengetahui hal seperti itu agar segera memberitahukannya. Makanya aku segera menelpon beliau begitu rapat selesai. Setelah kuceritakan, beliau bilang itu masalah yang dulu juga. Mungkin ada baiknya kita mengetahui pengalaman beliau.”

Jira lalu menoleh ke arah paman Hudi. Tampak pria tua itu manggut-manggut. Dahinya berkerut, tampaknya ia berusaha keras mengingat kembali peristiwa lawas itu.

“Paman Hudi, bisakah paman menceritakan pengalaman paman tentang pembelian fiktif itu dan bagaimana kelanjutannya setelah peristiwa itu terungkap?” pinta Jira pada orang tua itu.

Paman Hudi mengangguk lalu membetulkan letak duduknya. Ia berdehem sebelum memulai kisahnya. Tampak ada perubahan pada air mukanya yang mendadak menjadi keruh.

“Iya mas Andragi. Masalah itu ternyata sama dengan peritiwa enam belas tahun yang lalu. Setali tiga uang. Pada waktu itu paman bekerja di bagian yang mas Andragi pegang. Paman memiliki dua orang sahabat yang bekerja di bagian pergudangan dan pembelian. Kami bertiga menjadi dekat karena masing-masing melihat ada yang tidak beres dan kebetulan ketika saling menjajagi satu sama lain kami merasa memiliki prinsip yang sama yaitu kami tidak bisa berbuat tidak jujur. Diam-diam kami bertiga berencana membongkar kecurangan itu. Kami masing-masing berusaha mendapatkan bukti yang meyakinkan. Dan bukti itu akhirnya kami dapati juga, tepatnya kawan paman berdua itu yang menemukannya karena pada saat itu paman sedang bertugas di luar kota selama dua minggu. Karena takut momentumnya hilang, mereka berdua tidak bisa menunggu paman pulang baru mengungkapkannya. Lagi pula mereka merasa aman karena pimpinan kami tampaknya membenci tindakan korup dan sejenisnya. Dalam berbagai kesempatan beliau dengan tegas berpidato perlunya memberantas korupsi dan penyelewengan uang rakyat. Tidak jarang pula beliau berkotbah pada acara-acara hari besar keagamaan. Karenanya kawan paman berdua itu yakin akan mendapatkan tanggapan yang positif dari beliau. Mereka berdua lalu menyampaikan temuan itu pada rapat, sama seperti yang mas Andragi lakukan tadi siang. Tapi…,”

Paman Hudi berhenti sejenak. Suaranya menjadi serak saat mengucapkan kata “tapi” itu. Terlihat air mukanya semakin kelam. Pada cekung matanya sebutir mutiara terlihat menetes. Disekanya air mata itu dengan punggung tangannya, lalu menghela napas dalam-dalam seakan berusaha memberi rasa lapang pada dada kurus yang terhimpit beban berat menyesakkan. Jira segera menyodorkan air putih yang telah disediakan sebelumnya. Setelah minum beberapa teguk, Jira segera memburunya.

“Tapi, kenapa paman?”

“Iya, itulah,” paman Hudimenghela napasnya lagi.

sebelumnya l sesudahnya



  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun