Mohon tunggu...
Jujun Rolan
Jujun Rolan Mohon Tunggu... -

Pencari keheningan ditengah keriuhan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

12 Angry Men

11 Maret 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:58 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak cukup kita menjaga diri kita tetap benar. Kebenaran tersebut harus kita sebarkan kepada setiap orang yang belum mengetahui kebenaran itu. Yang matanya masih "terselubungi" sehingga menyangka kebenaran adalah hal yang salah, atau sudah mengetahui kebenaran itu, tapi tidak mau menjalankannya karena ketakutan dan egoisme pribadi.

Hal itu yang pertama terbersit setelah menonton sebuah film lawas. Beberapa bulan lalu, saya menonton "12 Angry Men", sebuah film yang diproduksi tahun 1957, bukan di bioskop tentu saja. Film ini sangat menarik, bagi saya yang bukan seorang pengamat perfilman. Berkisah tentang perdebatan diantara 12 orang juri yang sedang menilai perkara pembunuhan oleh seorang anak atas ayahnya.

Pada awalnya, kasus ini sepertinya akan diputus dengan mudah: TERBUKTI BERSALAH. 11 orang juri telah yakin dengan keputusan itu, dan tiba-tiba ada 1 orang juri yang menyatakan ragu-ragu. Dari sinilah ketegangan perdebatan dimulai, bagaimana melalui perdebatan panjang yang melelahkan baik fisik maupun emosi para juri, seorang juri tadi mencoba meyakinkan 11 orang juri lainnya bahwa anak tersebut tidak bersalah. Apa yang semula terlihat begitu sederhana, berkembang menjadi sesuatu yang sangat pelik. Mereka "terpaksa" menguji ulang semua bukti dan kesaksian yang sebenarnya telah berulang kali mereka cermati. Berulang kali bukti-bukti tersebut mengarah kepada bersalahnya sang anak. Tapi pada detik-detik terakhir, bukti dan kesaksian yang memberatkan kembali dipertanyakan. Keputusan yang pada awalnya diyakini sebagai satu-satunya hal yang paling memenuhi rasa keadilan, berkembang menjadi suatu keraguan besar. Semuanya bermula dari satu orang. Yang dipertaruhkan adalah hal yang sangat besar. Masa depan seorang anak muda.

Lalu, apakah kenyataannya memang anak tersebut tidak bersalah? Ya, menurut para juri, anak tersebut bukanlah seorang pembunuh, meskipun ia baru saja bertengkar dengan ayahnya sesaat sebelum peristiwa pembunuhan terjadi.

Belakangan, saya mencoba mengaitkan film tersebut dengan apa yang terjadi di negara tempat saya mencari penghidupan hingga sekarang. Kita mungkin percaya, terlebih dengan begitu maraknya pemberitaan media, ada begitu banyak aparat pemerintahan yang tidak benar. Nilai integritas menjadi minoritas. Jika kita tahu ada begitu banyak orang (baca: politisi/penegak hukum/masyarakat sipil/siapa saja yang merasa bagian dari bangsa Indonesia) yang sedang "salah jalan", dimana yang dipertaruhkan ialah suatu hal yang besar (kemaslahatan rakyat banyak), apa yang dapat kita perbuat?

Ingin saya memberi solusi, namun saya tidak berada dalam posisi untuk memberi solusi atau bahkan sekadar tips & tricks. Ada begitu banyak orang yang lebih berkompeten dan telah terbukti sepak terjangnya, yang lebih layak membuat tulisan tentang hal tersebut. Tapi satu hal yang pasti, Jika kita berkata kita mengetahui kebenaran, maka kita sebenarnya sedang diberi tugas untuk meyakinkan orang lain tentang kebenaran tersebut. Dengan demikian kita mencegah bertambahnya korban dari ketidakbenaran tersebut.

Bagian yang ingin saya ambil hanyalah menjadi seorang "pengingat". Karena saya percaya, dalam hati setiap orang, apa yang sebaiknya dikaryakan telah jelas termaktub. Dunia sekarang membutuhkan banyak pengajar, namun yang dibutuhkan lebih banyak lagi adalah orang yang mau mengingatkan agar tetap berjalan pada jalur yang benar. Mungkin karena itu, ada begitu banyak acara bertema motivasi yang kita temui belakangan ini.

Jadi, bagaimana jika kita sejenak meluangkan waktu, cukup beberapa menit untuk memikirkan bagaimana cara berkontribusi bagi bangsa ini?  Tidak perlu kita bertanya apa yang orang lain lakukan. Kita tidak sedang bersaing dalam berbuat baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun