Mohon tunggu...
Anakhadi
Anakhadi Mohon Tunggu... Editor - Ayah dari Sibad dan Suami dari Anayaka

ini tentang celoteh ku, dalam melihat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat, Apakah Kita Sama?

28 September 2013   23:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:15 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar meredup dengan cepatnya di Kota Gedejaya pada sore Maret itu. Sisa segala kehancuran akibat kerusuhan dan rumah-rumah kayu berubah dengan pesat.
Kota yang tenang dan damai itu telah berubah dengan sekejap, suara jangkrik yang biasa terdengarpun pergi terbawa kepulan asap yang masih menghiasi rumah-rumah dan tempat ibadah.
“Anakku segeralah masuk, angin di luar sedang berkabung bisa-bisa nanti kamu terserang flu” kata bu Siti kepada Hadi anak semata wayangnya.
Sambil terus memandangi rumah tetangganya yang ada di samping sebelah kanan dia berkata:
“Bu, kenapa semua ini harus terjadi?, aku tidak punya teman lagi selain Yani Sadewo”
Yani adalah sahabat Hadi sejak mereka masih duduk di taman kanak-kanak dan sekarang mereka duduk di kelas 5 SD (Sekolah Dasar). Keduanya sering bermain bola di taman dekat rumah, yang hanya berjarak dua blok dari sebrang jalan.
Dengan perawakan yang kecil, berkulit hitam dan berambut keriting Yani terkesan pandai bermain bola, dan memang demikian Hadi selalu mengandalkan Yani apabila mengadu bola dengan teman-teman sebayanya.
Hadi kemudian duduk bersandar di tembok dan mendekapkan kakinya supaya hangat karena dia agak sedikit kurus. Semakin lama dia melihat semakin nyata rumah Yani dengan kepulan asap yang masih menyelimuti, dengan matanya yang semakin merah.
Di balik tembok tempat bersandar Hadi terdengar suara cukup lantang dengan sedikit nada tinggi:
“ Hadi sekarang sudah maghrib, buat apa melihat rumah orang kafir itu, cepat masuk!”
Dengan langkah perlahan bu Siti menghampiri Hadi dan membisikkan perlahan ke telingan Hadi “ nak, cepat masuk dan ambil air wudhu lalu kita shalat berjamaah, nanti ibu kasih kamu kue tape kesukaan kamu. Tuh lihat bapakmu sudah marah.”
Kemudian dengan berat hati dan mata yang berkaca-kaca Hadi-pun bergegas meninggalkan teras rumah.
Malam kian larut, rinai hujan turun membasahi Kota Gedejaya, menghapus asap hitam menambah keheningan malam dan suara burung gagak yang beterbanganpun terdengar mencekam kegelapan.
Di sisi lain di sebuah Mushalla Al-Ahmad tempat pengungsian para Jamaah Al-hamdi Arrahman, Yani juga tak bisa tidur memikirkan kejadian dua hari lalu yang cukup membuatnya trauma. Karena, ayahnya yang bernama Abu terluka saat terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok organisasi masyarakat yang mengatas namakan umat Islam, padahal dalam ajaran islam sendiri tidak di ajarkan melakukan penganiayaan dan penyerangan membabi buta.
“Yani, sudah larut malam tidurlah dulu, besok kan kamu harus sekolah” ujar bu Aminah kepada Yani.
“iya mah, nanti Yani bobo. Tapi Yani gak mau sekolah, Yani gak tau kenapa teman-teman Yani di sekolah menyebut Yani anak sesat padahal Yani kan juga orang Islam. Dan kata Pak Agus ayahnya Hadi, Yani gak boleh main lagi sama Hadi.” Kata Yani dengan wajah polosnya.
“ Gak apa-apa Yan, mungkin Hadi lagi sakit jadi ga boleh main dulu sama kamu” jawab bu Aminah dengan raut muka yang kasihan karena mendengar perkataan anaknya tadi.
“ lalu kenapa Ayah di pukulin sama orang-orang itu bu?” Tanya kembali
Dengan wajah tertunduk lesu dan mata layunya, bu aminah bingung harus menjawab apa, karena dirinya-pun ikut menjadi kebrutalan kelompok organisasi masyarakat tersebut. Kemudian dengan suara bergetar bu aminah menjawab “ itu hanya orang yang ingin menagih uang ke Ayah Yan, makanya kamu belajar yang rajin ya supaya hutang Ayah sama ibu bisa di lunasi”.
Lama berbincang dengan ibunya Yanipun tertidur pulas di pangkuan sang ibu.
Suara kokok ayam jantan terdengar dari kejauhan, gemercik air wudhu mengusik tidur lelap Yani, kumandang adzan di lantunkan tanpa pengeras suara. Berbondong-bondong warga yang ada di pengungsian mengisi saf* dan melaksanakan shalat subuh. Yani –pun ikut shalat menghadap Illahi Rabbi.
Saat jam 06.00 WIB waktu untuk sarapan datang, Yani berkata kepada ibunya:
“mah lapar, Yani mau susu sama roti”.
Sang ibu kebingungan karena kebiasaan Yani setiap pagi adalah minum susu dan makan roti. Bu Aminah masih trauma untuk keluar-keluar tempat pengungsian karena takut menjadi sasaran amuk warga yang sudah terhasut kelompok organisasi masyarakat  tersebut apalagi pa Abu yang biasa pergi mencari nafkah terbaring lemah karena luka-luka yang dideritanya. Memang tidak mudah untuk menghilangkan trauma apalagi penyebab dari permasalahannya tidak di ketahui oleh bu Aminah dan anaknya.
Apalagi yang terjadi kepada Yani, sampai-sampai tidak mau keluar mushalla Arrahman.
Di rumah, Hadi melakukan shalat berjamaah dengan di pimpin bapaknya. Setelah melakukan shalat berjamaah mereka bersama-sama membaca ayat suci al-qur’an. Kemudian dilanjutkan rutinitas seperti biasanya.
Hari mulai siang, jam menunjukan pukul 06.30 WIB. Biasanya Hadi dan Yani pergi bersama menuju ke SD Arrahman dengan mengendarai sepeda dan ibu-ibu mereka sibuk berbincang di depan rumah sembari mengantarkan suami-suami mereka di depan pintu untuk pergi bekerja. Bisa dibilang mereka tetangga yang cukup harmonis dan rukun. Tetapi pada hari itu mereka tidak seperti biasanya, Hadi hanya duduk sambil melihat keluar lewat jendela di kamarnya.
Bayang pohon beringin depan rumah mulai merambat ke teras rumah Hadi, udara bersih yang biasa mengisi setiap rongga dada dan celah ruang yang ada di gantikan dengan udara yang tidak bersahabat menyesakan dada, kepulan asap sesekali terlintas di depan mata.
Semua ini berawal pada saat tersebar isu bahwa peminpin jamaah Alhamdi Arrahman adalah Nabi setelah Nabi Muhammad. Tetapi Ayah Yani menganggap pemimpin mereka bukan Nabi, hanya sebatas pemimpin dan pendiri jamaah. Cara mereka shalat, membaca al-qur’an, zakat, puasa-pun sama. Dan semua menyembah Tuhan yang sama.
Gagang pintu kamar Hadi di buka perlahan dengan hati-hati, dari belakang ibu Hadi memeluk dan mengusap kepalanya, sambil berkata:
“Kenapa anakku, kamu masih bermuram durja?”.
“Tak apa bu, aku hanya bingung kenapa kita saling bermusuhan dan saling memukul?” Tanya Hadi.
Sebenarnya Hadi sudah tahu masalah itu karena diberi tahu oleh bu Febri yang biasa mengajar mereka mengaji.
“Padahal mereka dengan kita sama-sama menyembah Allah, dan nabinya nabi Muhammad dan shalatnya pun sama?’ Tanya lagi.
Sang ibu menjawab “ iya nak tetapi kata pak walikota mereka sesat dan salah, jadi harus di usir dari kota ini.
“Tapi bu, paman-paman Nabi Muhammad saja tidak di usir dari kotanya padahal mereka jelas-jelas orang kafir”
Bu siti sedikit bingung kenapa anak sekecil ini bisa berkata demikian, setelah berfikir agak lama dia menjawab: “memang anakku tetapi mereka para jamaah sudah di katakana sesat oleh para ulama.”
Dengan cepat Hadi menjawab “ tetapi mereka tidak mengganggu kita bu, dan kita sama-sama orang islam. Yang ada sekarang semuanya hancur, sekolah aku rusak gara-gara yayasan itu milik jamaah Al-Hamdi Arrahman, dan aku kehilangan sahabat terbaikku. Apakah islam mengajarkan kita untuk saling memusuhi”
“ tidak anakku” jawab sang ibu sambil tertegun mendengar kata-kata itu.
“ mungkin cara pandang mereka dan kita berbeda tetapi apakah harus dengan cara perusakan seperti ini.” Tangkas Hadi.
“ kamu benar Hadi, sebenarnya ibu-pun sangat sedih melihat ini semua. Tetapi bapakmu sangat fanatik terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasinya tanpa berfikir dahulu apakah yang bapak lakukan benar atau salah.”
“ kapan ya bu, kita bisa berkumpul dengan keluarga Yani lagi?’ Tanya Hadi penuh harap.
*saf = barisan dalam shalat.
Jum'at malam, rental dekat APP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun