Kunang-kunang kecil yang terperangkap di toples kacaku masih terbang berputar-putar mencari celah untuk keluar menuju dunia kebebasan. Ekornya masih berpijar seirama kepakan sayapnya. Indah.
Mabel, sedari tadi masih terpaku menatap hewan mungil yang berpijar itu. Matanya tak lelah memandang tanpa berkedip. Jari kecilnya menyentuh pinggiran toples menyusurinya mengikuti pola terbang si kunang-kunang. Mulut mungilya penuh liur karena lama dibiarkan menganga takjub. Hum…lucu sekali putri kecilku ini.
Kubelai rambut kriwilnya. Rambut milik Bram. Mabel tampaknya tak terusik dengan belaianku. Ia tetap asik menyusurkan telunjuk mungilnya di dinding stoples.
Jam dinding kami berdetang delapan kali. Waktunya Mabel tidur. Kucium pipi tembemnya.
“Nak, sudah bobok yuk. Besok Mabel kan harus sekolah, kalau tidurnya kemalaman nanti bangunnya kesiangan. Mabel tidak mau kan berangkat sekolahnya kesiangan dan gak dapat bintang dari bu Nuri.” Mabel menatapku. Dari tatapannya aku tahu, Mabel minta dispensasi. Tapi aku benar-benar tidak ingin merubah pola. Kugelengkan kepala mantap. Kulihat ekspresi kekecewaan di wajahnya.
“Ayo kita tidur, nanti ibu dongengin.”
“Benar,bu?” Aku mengangguk. Akhirnya Mabel mengalah, bergegas ia menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan berwudhu. Kebiasaan yang kuajarkan sejak kecil dan kini sudah menjadi kebiasaan.
Sepuluh menit kemudian kami sudah berbaring bersama di tempat tidur Mabel. Dan dia sudah menagih janjianya.
“Ayo bu, ndongeng. Tentang kunang-kunang ya..”
“Hemm kenapa kunang-kunang, sayang?”
“Karena Mabel lagi suka sama kunang-kunang. Kunang-kunang itu lucu ya, bu. Punya lampu di ekornya. Seperti motor. Kata kakek, kunang-kunang itu terbuat dari kuku orang mati ya, bu?”
Aku tersenyum mendengar imajinasi Mabel. Kunang-kunang dia ibaratkan seperti motor. Dan aku lebih tersenyum lagi mendengar cerita Mabel tentang cerita ayah mengenai asal muasal kunang-kunang yang berasal dari kuku orang mati.
Ah ayah, masih saja sama. Dulu sewaktu aku kecil, ayah juga mengatakan hal yang sama. Dan sontak Bram menertawakan aku ketika cerita itu aku sampaikan. Menurut Bram, cerita itu cerita yang tidak logis untuk siswi berprestasi sepertiku.
“Ibu, ayo cerita tentang kunang-kungang. Ibu mau cerita apa?”
Sejenak aku memutar otak. Aku tidak punya stok cerita tentang kunang-kunang. Tapi berbicara dengan Mabel berarti harus selalu punya alternative jawaban.
“Baik, dengarkan ya, nak. Ibu mau cerita tentang pangeran kunang-kunang dan putri lebah.”
“Ibu, pangeran kunang-kunang itu seperti kunang-kunang yang di stoples kita ya,bu?”
Aku mengangguk.
“Ibu lanjutkan ya nak, ceritanya. Pada suatu malam saat bulan mati. Di hamparan sawah yang sangat luas, putri kunang-kunang sedang bermain bersama teman-temannya. Saat ia sedang terbang melayang sendiri, tiba-tiba terdengar olehnya suara rintihan minta tolong. Pangeran kunang-kunang yang pemberani lalu mencari tahu dari mana asal suara itu”
Kulihat mabel masih asyik menyimak.
“Ternyata suara itu berasal dari seeokor lebah yang teresat. Kumbang itu berasal dari hutan di seberang desa itu. Ia baru saja belajar terbang jauh menjelajah desa, dan ia tidak tahu jalan pulang. Rasa iba mendorong pangeran kunang-kunang untuk menolong putri lebah yang. Pangeran kunang-kunang membantu putri lebah menuju hutan. Dengan cahaya di ekornya ia memandu putri lebah terbang melintasi malam yang pekat. Akhirnya, dengan bantuan pangeran kunang-kunang, pangeran_”
Mabel sudah tertidur. Kukecup kening putri kesayanganku ini.
Aku melangkah meninggalkan kamar Mabel. Kupandangi lagi kunang-kunang yang terjebak di stoples kaca milik kami. Ingatanku melayang pada Bram, ayah Mabel. Lelaki itu selalu memanggilku putri lebah. Entah apa yang membuatnya memanggilku demikian. Mungkin karena aku kecil dan galak.
Kami tengah dimabuk cinta kala itu. Kami gila oleh cinta dan kami buta oleh cinta. Hingga siklus bulananku menyadarkan kami. Kami mulai panik saat aku terlambat dua minggu. Bram bergegas ke apotik, membelikan test pack. Berdebar kami menanti. Lima menit kemudian, dua garis manis bertengger pada batang plasik berwarna putih. Aku positif hamil. Dalam rahimku ada benih Bram.
Aku masih terhanyut dalam pikiranku, ketika suamiku pulang. rengkuhan lembutnya membawaku kembali pada realita. Aku tersenyum menyambutnya. Ia ikut duduk di sampingku. Bersama kami menatap kunang-kunang dalam stoples kaca.
“Mas, taukah kau. Bagiku, kau adalah pangeran kunang-kunangku. Kau dengan cahayamu menuntunku, si putri lebah yang tersesat”
Ia mengelus lembut punggung tanganku.
“Ssst..jangan bicarakan itu lagi, bu. Aku mencintaimu dan mencintai Mabel kemarin, hari ini dan esok. Kalian adalah hidupku. Kalian adalah kunang-kunang kecilku. Pijar kalian membangkitkan gairah dan semangatku.”
“Sampai kapan kita akan menyembunyikan ini dari Mabel, Mas. Suatu saat ia harus tahu bahwa kau bukan bapak biologisnya. Dan aku tak tahu harus bagaimana menjawab ketika ia bertanya dimana Bram”
Lelaki yang kini menjadi suamiku itu hanya merengkuhku dalam pelukannya yang hangat, tak dijawabnya pertanyaanku. Tapi aku tahu, dia pasti telah menyiapkan semuanya bila waktnya tiba. Aku selalu bisa mengandalkan lelaki ini.
Lelaki itu adalah Sam, suamiku. Pangeran kunang-kunang yang telah menuntunku saat tersesat dan koyak karena ulah Bram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H