Mohon tunggu...
Andri Rosita
Andri Rosita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Bidan dan petugas Promosi Kesehatan di Puskesmas Poncowarno. Ibu rumah tangga dan penggila drama korea.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Balada Mie Instan

10 Februari 2012   15:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:49 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanyakan padaku apa makanan kesukaanku. Maka dengan serta merta kujawab; MIE INSTAN. Apapun merk-nya. Apapun jenisnya. Apapun rasanya. Asalkan mie instan pasti habis kulahab. Bagaimanapun cara penyajiannya. Direbus, disiram air panas ataupun dikremes. Semua nikmat.

Tak ada makanan yang dapat menandingi keistimewaan mie instan. Betapa mie instan dapat dimakan dalam segala cuaca. Serius! Bayangkan ketika hujan turun, maka mie rebus akan menghangatkan. Panas. Mie goreng menggairahkan.

Bayangkan kepulan uap panas itu meliuk-liuk dari mangkuk berisi mie rebus dengan taburan bawang goreng dan irisan rawitan. Sawi hijau menyembul diantara kriwil tekstur mie. Telur, ayam, kerupuk atau kacang atom menambah riuhnya mangkok memaksa liurku berproduksi lebih.

Mie instan itu is-ti-me-wa, mungkin seperti delman yang kunaiki di hari minggu saat kuturut ayah kekota. Betapa tidak, harganya cukup realistis ditengah kenaikan bahan pokok lain yang menggila. Betapa tidak, mie instan dapat dipadupadankan dengan segala jenis makanan. Makanan gunung dan laut bisa berpadu harmonis dengan liukan keritingnya mie dan legitnya kuah. Bahkan nasi, si raja segala bahan pokok juga bersedia selaras berpadu dengan mie instan. Perduli setan dengan pakar gizi yang berkata karbohidrat tidak sepantasnya bersanding dengan karbohidrat. Beresiko diabetes. Tapi bagi kami, anak-anak kos dengan uang saku pas-pasan atau pekerja kasar dengan upah jauh dari standar, yang penting bagi kami adalah kenyang dan nasi tidak hambar karena menjomblo tanpa kawan.

Aku tidak perduli berapa banyak monosodium glutamate yang diperlukan untuk membentuk semangkuk mie instan. Toh maut telah digariskan jauh sebelum ibu-ibu kita mendatangi bidan untuk melahirkan. Jadi jangan salahkan MSG. Aku tidak perduli seberapa banyak zat pengawet yang dicampurkan pada buliran-buliran sekantung mie instan. Yang aku perdulikan adalah kenikmatan kuliner dengan harga yang terjangkau.

Keistimewaan lain dari mie instan adalah betapa merakyatnya dia. Siapa tidak kenal mie instan? Tua-muda, kaya-miskin, pria-wanita semua kenal mie instan. Orang Barat-Orang Timur. Semua tahu mie instan. Begitu membuminya mie instan sampai-sampai orang nomer satu di negriku mempromosikan dirinya dengan jinggel mie instant. Entah apa maksudnya.

Dan rupanya, mie instant telah menjadi alternaif pilihan untuk menyampaikan berbagai rasa. Mie instant adalah ungkapan simpati dan symbol perhatian. Mie instant selalu tersembul di truk-truk kargo yang mengangkut bantuan untuk para korban bencana.

Bahakan ternyata, kawan. Kedahsyatan mie instan begitu nyata. Untuk menjadi orang penting, kau hanya perlu menukar sekantung suara dengan berkardus-kardus mie instant bergambar wajahmu.

Bagaimana, dahsyat bukan kisah sebungkus mie instan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun