Mohon tunggu...
Farid Arifandi
Farid Arifandi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Aktifis Anak

Berdamai dengan hati sendiri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mempercayai Proses Transisi Kepemimpinan

15 Agustus 2014   07:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berita hari-hari ini memperlihatkan perkembangan, ada partai politik baik di kubu Prabowo atau Jokowi yang masuk angin. Lupa apa yang telah menjadi kesepakatan secara ideologi. Perbenturan kepentingan yang ada diinternal partai, mulai didorong menjadi perseteruan di luar internal partai, sampai terseok-seok didengar masyarakat. Masyarakat seperti disuguhkan makanan yang sudah basi. Munculnya saling memecat di partai yang sama, ketakutan partainya akan ditinggalkan dan partai yang memilih vakum alias kosong sikap kepemimpinan karena tidak berani mengambil arah politiknya di era ini.

Kemenangan Jokowi-JK menjadi monumental pada perubahan peta kekuatan politik di Indonesia, seperti memangkas generasi lama ke garis politik regenerasi baru. Menyongsong perubahan ini menyebabkan banyak partai politik yang tidak siap. Gejala post power syndrome, ketidak percayaan diri, perpecahan ditubuh partai politik sampai saling memecat didalam tubuh partainya sendiri. Apa sebenarnya yang terjadi sehingga ada partai seperti tak tentu arah dan cenderung tidak dapat menguasai diri. Ini terjadi pada tubuh partai PPP di awal Pilpres dan Partai Golkar di akhir Pilpres. Partai yang dikenal beberapa pengamat dan tokoh politik matang dalam mengelola dan memanage konflik didalam partainya pun, terjebak dalam situasi ini.

Tentunya ini menggelitik dan membuat masyarakat bertanya-tanya apa yang terjadi pasca Pileg dan Pilpres. Kekuasaan seperti kembali diarahkan pada kekuatan-kekuatan besar yang sentralistik dan monolitik. Sepertinya perjuangan saat kampanye bersama dan ideologi yang dibangun bersama dengan istilah koalisi dan kerjasama akan hilang. Jargon kepemimpinan dari rakyat yang ditiupkan masa kampanye mulai tergerus dengan munculnya fragmentasi politik yang frontal dan saling mengambil posisi.

Seharusnya dengan meningkatnya partisipasi politik dari masyarakat, menyadarkan partai untuk lebih menghadirkan perubahan yang sedang euphoria dirasakan masyarakat. Semangat partisipasi dari masyarakat yang tinggi diharapkan dapat membuka kran-kran yang tersumbat didalam partai politik dalam membangun partisipasi masyarakat. Partisipasi 120 juta rakyat Indonesia yang mengikuti pemilihan kemarin menyadarkan budaya politik partisan dan budaya politik toleransi telah tumbuh subur di negeri ini dan membuka mata kita semua.

Pijakan partai politik hendaknya dapat membawa ke titik keseimbangan. Dimana masyarakat dapat memilih didalam dan mendukung pemerintahan atau bergerak secara oposisi mengkritisi setiap kebijakan pemerintahan nantinya. Keduanya menjadi titik keseimbangan dan penyehatan demokrasi di Indonesia kedepan. Kiranya Indonesia sudah menjalani ini dengan baik dan sukses. Seperti yang diperankan Demokrat dan PDIP di masa itu.

Proses Jokowi dan JK melakukan konsultasi publik dengan membuka berbagai agendanya seharusnya diikuti dengan aktif oleh partai politik dan berbagai organisasi relawan. Agar alam yang terbuka ini tidak kembali tertutup dengan berbagai konflik internal partai yang sudah tidak menarik lagi untuk ditonton. Dan kesempatan ini dapat digunakan sebesar-besarnya agar masyarakat tidak alergi politik. Dengan ini diharapkan setiap anak bangsa optimis dan senang berperan aktif dalam mewujudkan cita-citanya melalui dunia politik. Nasden dan Hanura merupakan partai yang sampai saat ini masih konsisten dan tetap menjaga bangunan kerjasama yang dibangun sejak awal.

Begitu juga dengan fenomena banyaknya masyarakat mendaftarkan diri menjadi Menteri. Merupakan partisipasi masyarakat yang dapat digalang untuk mendukung pemerintahan ke depan. Pola rekrutmen Menteri yang selama ini ditakutkan akan terjebak pada hanya sekedar balas jasa, dan politik balas budi sudah seharusnya ditinggalkan. Keinginan masyarakat bahwa Menteri yang dipilih adalah Menteri yang kerja sudah seharusnya menjadi pijakan kita semua. Jangan sampai ditengah bekerja masih harus memikirkan ‘keluarganya, kelompoknya dan konstituennya’ apalagi berhenti ditengah jalan akibat kesalahan yang tak perlu, seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Tim hunter yang telah dibentuk Jokowi-JK tentunya sudah mengukur dengan basis intelektual, profesional dan perhitungan efektifitas dalam penyelenggaraan Negara kedepan. Dan semua calon yang ingin mendaftar bisa dari mana saja partai, relawan, masyarakat, professional tentunya dengan memenuhi kriteria dan kompentensi tadi. Sedangkan untuk pola perekrutan dan keputusannya mari kita serahkan ke Jokowi – JK. Dengan cara ini kiranya semua pihak jangan ragu lagi.

Sekarang saatnya semua partai, relawan, dan partai yang berkuasa saat ini mengantarkan proses ini dan mengawal sebaik-baiknya dengan menjaga partisipasi semua warga Negara, dengan menfaslitasi masyarakat melalui partai politik, organisasi relawan dan kegiatan-kegiatan akedemis. Dengan berbagai kegiatan yang menopang dan mempersiapkan proses transisi ini. Seperti penyiapan dan pematangannya, misalnya: membumikan lagi konsep revolusi mental sebagai semangat pedoman bernegara dan berbangsa, mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghantarkan kepemerintahan yang baru, mendukung tim transisi yang telah bekerja, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan akedemis melalui seminar dan semiloka di kampus-kampus dan berbagai tempat akedemisi dan para ahli berkumpul, dll guna memberi saran, rekomendasi dan arahan kebijakan pemerintahan lima tahun kedepan.

Untuk proses di MK yang sedang berjalan kita hormati sebagai hak demokrasi dan mendukung keputusan MK nantinya sebagai ‘final and binding’ dengan beberapa catatan. Bahwa proses politik yang telah masuk dalam wilayah hukum ini nantinya hasilnya akan dihormati kedua pihak. Jangan sampai proses setelah keputusan MK kemudian menjadi hingar bingar politik kembai, seperti yang kita rasakan sekarang. Jangan sampai tuntutan hasil Pilpres yang telah menjadi produk hukum di MK, justru kembali dipersoalkan dan berpotensi menjadi ancaman dissintegrasi bangsa. Tentunya jika ini terjadi akan merugikan kita semua. Inilah yang akan menjadi agenda pekerjaan besar bangsa ini dan menjadi ujian kita semua.

Farid Ari Fandi

Relawan Matahari Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun