Dia tidak mendengar adanya suara yang seragam. Suara dari sayup-sayup teriakan demonstran. Suaranya beragam, multiple voice.
[caption id="attachment_310598" align="alignleft" width="300" caption="Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Theodore Sparringa, di Bina Graha, Komplek Istana Kepresidenan. Foto : Dok Pribadi."][/caption]
“Beberapa suara yang segera kami tangkap, dan kami punya catatan agak baik dan agak panjang tentang suara-suara mereka, yang kami kompilasikan, di beberapa peristiwa unjuk rasa di beberapa daerah yang berbeda, pesannya lebih beragam.”
Segera saya terkesima dengan data yang dimilikinya.
Daniel Theodore Sparringa, Akademisi Universitas Airlangga yang kini mendapatkan keistimewaan menjadi Staf Khusus Presiden bidang komunikasi politik, berbagi pandangannya soal berbagai hal, di Bina Graha, komplek istana kepresidenan, Jakarta, Jumat (22/10/2010) lalu.
Catatan kecil ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya, berjudul “Daniel, demonstran dan demonstrasi”. http://filsafat.kompasiana.com/2010/11/01/daniel-demonstran-dan-demonstrasi/
“Kami punya catatan agak baik dan agak panjang tentang suara-suara mereka, yang kami kompilasikan, di beberapa peristiwa unjuk rasa di beberapa daerah yang berbeda.” begitu pesannya.
Dia memaparkan ragam suara demonstran, suara yang meminta agar pemerintah mengambil arah pembangunan yang kritis terhadap pendekatan neolibelisme. Suara di beberapa daerah, terutama kaum buruh menginginkan adanya perubahan kebijakan yang mendasar untuk memastikan nasib buruh lebih baik.
Ada juga yang menyuarakan agar pemerintah mengambil posisi yang tegas, malahan kalau tidak, sikap keras terhadap Malaysia. “Termasuk diantaranya soal Lapindo dan ledakan gas.”
“Jadi memang ada multiple voice, ada suara yang beragam.”
“Dan kami senang ketika itu semua muncul ke permukaan daripada hanya dengan satu label, Turun, Presiden turun.”
Dia berpendapat, suara yang melayangkan pesan agar presiden turun mempunyai nilai absurditas. Absurditas itu timbul karena semua orang tahu, orang yang menyuarakan itupun tahu kalau itu tidak mungkin dilakukan. “Dan yang sedang menerima mandat juga percaya tidak alasan untuk turun.”
Argumentasi ini membuatku tergelitik. “Bagaimana kalau semua itu dibalik,” pikirku. Tidak akan absurd ketika semua orang tahu, orang yang menyuarakan itupun tahu kalau itu mungkin dilakukan.
Lantas kapan suara itu tidak menjadi absurd ? Apakah tabulasi aspirasi, atau tabulasi kekecewaan dalam bahasaku, belum cukup membalik absurditas itu?
Suatu saat nanti, kurasa,saat dialektika material menemukan sejarahnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H