Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan Kaki, Potret Pendidikan Indonesia Sepanjang Tahun 2024

26 Desember 2024   08:04 Diperbarui: 26 Desember 2024   08:04 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Program Merdeka belajar, Melalui Program Sekolah Penggerak menjadi salah satu program Unggulan tahun 2024 ( sumber: Koleksi Pribadi )

Sepanjang tahun 2024 hingar bingar dunia Pendidikan di Indonesia diramaikan dengan Merdeka Belajar yang menjadi program andalan Kemendikbudristek Nadiem Anwar Makarim. Auphoria program Merdeka Mengajar dengan beragam turunnya nyaris menghiasi seluruh "ruang" kreativitas sekolah. Namun sejalan dengan pergantian kepemimpinan Nasional, maka Paska Pelantikan Presiden Prabowo Subianto, euphoria Merdeka Belajar ada kecenderungan menurun. Bahkan terindikasi ada upaya untuk melupakan program prioritas Nadiem Anwar Makarim tersebut. Setali tiga uang, kebijakan Presiden Prabowo Subianto memecah kementrian yang menangani pendidikan dan kebudayaan menjadi tiga makin memperkuat sinyalemen bahwa program Merdeka Belajar yang digagas Nadiem Anwar Makarim hanya tinggal menunggu waktu untuk segera digantikan dengan program baru lainnya. Kondisi ini makin nyata ketika pengganti Nadiem Anwar Makarim adalah Prof. Abdul Muti yang selama ini sering dianggap tidak sejalan dengan program Kemendikbudristek semasa dipimpin oleh Nadiem Anwar Makarim. Perubahan apakah yang sesungguhnya telah dirasakan selama lima tahun kepemimpinan Nadiem Anwar Makarim, serta perubahan apa yang nantinya akan dilaksanakan oleh Prof. Abdul Mu'ti, tulisan ini hanya bahan refleksi dan sekaligus kontemplasi pendidikan sepanjang tahun 2024 dan harapan perubahan yang memungkinkan untuk dilakukan sepanjangan tahun 2025 mendatang.

Program Merdeka Belajar yang digagas Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim sesungguhnya memberikan dampak yang cukup besar bagi upaya transformasi pendidikan di Indonesia. Bidang digitalisasi pendidikan misalnya, melalui tangan Nadiem Makarim warga sekolah "dipaksa" untuk melek tehnologi. Kebijakan Mendikbudristek saat itu ternyata memberikan implikasi positif bagi seluruh warga sekolah untuk menjadikan tehnologi informasi dengan beragam aplikasi sebagai wahana untuk mengembangkan potensi dan sekaligus kompetensi tehnologi warga sekolah. Kita tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika warga sekolah tidak dipaksa untuk belajar dan menggunakan tehnologi informasi. Mungkin saja, hingga saat ini warga sekolah tidak akan mengenal pertemuan dalam jaringan atau Daring. Terlepas dari berbagai dampak yang mengiringi, namun program digitalisasi pendidikan berimplikasi positif bagi warga sekolah dalam bertransformasi.

Kurikulum Merdeka sesungguhnya memberikan banyak manfaat bagi para guru. Salah satunya adalah bagaimana guru diajak untuk menyadari akan pentingnya pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan pserta didik. Memang, jauh sebelum pemberlakukan Kurikulum Merdeka guru sudah mengenal terminologi pembelajaran yang berpusat kepada siswa atau lebih dikenal dengan student learning centre, Namun secara konseptual dan teoritik, guru makin mumpuni melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan siswa ketika kurikulum merdeka mulai diberlakukan.

Lantas bagaimana dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM)? Sesungguhnya Platform Merdeka Mengajar (PMM) berkontribusi positif bagi upaya guru untuk meningkatkan kompetensinya. Polemik yang muncul lebih banyak dipicu oleh ketidakmampuan guru dalam menggunakan PMM sebagai wahana belajar pada waktu yang tepat. Sedikit menggelikan memang, ketika saat itu ada upaya dari pihak tertentu yang memberikan reward atau penghargaan kepada guru yang berhasil menyelesaikan topik-topik pembelajaran. Kondisi ini memicu guru untuk berlomba-lomba menyelesaikan topik sehingga ada indikasi meninggalkan tuga pokoknya di kelas. Konten yang ada di PMM juga cukup berbobot. Namun sayang interaksi yang dibangun cenderung satu arah dan kurang memberikan ruang bagi para guru atau tenaga kependidikan lainnya untuk saling adu argumentasi. Aksi nyata yang diunggah oleh guru, kepala sekolah cenderung hanya sebagai wahana legitimasi bahwa seorang guru atau kepala sekolah telah melakukan praktik baik, namun masih sangat minim kritik, saran yang sesungguhya kritik dan sarana tersebut menjadi ladang persemaian bagi upaya guru atau kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas praktik baik yang dilaksanakannya.

Program lain yang juga memunculkan polemik adalah program guru penggerak. Program ini sesungguhnya sangat bermanfaat bagi para guru yang ingin meningkatkan kompetensi dan karirnya. Namun pembatasan usia peserta akhirnya memunculkan polemic adanya diskriminasi atau dikotomi antara guru senior dengan guru junior. Perasaan diskriminatif ini akhirnya berlanjut dengan munculnya stigma kurang sedap bagi guru-guru yang telah menyelesaikan program guru penggerak. Mereka dinilai sebagai guru elit, namun masih bau kencur karena kurang pengalaman. Sehingga ketika mereka ditugaskan sebagai kepala sekolah maupun pengawas sekolah muncul resistensi dari sekolah, khususnya dari mereka yang merasakan dirinya memiliki pengalaman atau jam terbang lama baik sebagai guru maupun kepala sekolah.

Menjelang tutup tahun 2024 dan mengawali tahun 2025, pendidikan di Indonesia akan memasuki babak baru. Euphoria tentang Merdeka Belajar dengan berbagai program turunannya akan meredup dan segera digantikan dengan program dan kebijakan baru dari Mendikdasmen Prof. Abdul Mu'ti. Sangatlah naif jika kita mengatakan program-program yang dilaksanakan selama 5 tahun pada era kepemimpinan Nadiem Makarim tidak memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Kekurangan pasti ada. Pendidikan berkembang sesuai dengan kondisi yang tengah berlangsung. Maka sangatlah wajar jika perlu dilakukan penyesuaian. Sesuatu yang baik dan memberikan manfaat bagi kemajua pendidikan layak untuk dipertahankan sekaligus ditingkatkan. Namun jika memang sebaliknya, maka layak untuk kita tinggalkan.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu'ti mengakui jika pihaknya tidak akan tergesa-gesa untuk mengambil kebijakan pendidikan di tanah air. Mantan Ketua BAN-SM ini mengaku masih mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Namun jika kita melihat rekam jejak Mendikdasmen tersebut dipastikan sejumlah program pendidikan yang digagas Mendikbudristek Nadiem Anwa Makarim akan dievaluasi. Program Guru Penggerak konon akan disempurnakan menjadi Pendidikan Kepemimpinan Sekolah (PKS).

Dirjen GTK Prof. Nunuk Suryani mengakui jika program guru penggerak yang selama ini sering memunculkan sejumlah kontoversi pola pelaksanaannya dan materi akan diubah. Peserta bukan saja akan dididik dan digembleng untuk meningkatkan kompetensi manajerial dan kepemimpinan melalui kegiatan yang lebih banyak dalam bentuk praktik, serta studi kasus yang diharapkan akan makin mendekatkan guru dengan kondisi riil. Perubahan pelaksanaan dan materi ini tentunya patut diapresiasi. Hal ini menunjukan jika ada upaya Kemendikdasmen untuk menghilangkan glorifikasi program guru penggerak yang dinilai berlebihan.

Program lain yang juga tengah dilakukan evaluasi adalah Pengelolaan Kinerja Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Dalam relis kegiatan tersebut, Mendikdasmen Prof. Abdul Mu'ti mengakui jika pihaknya berupaya untuk menyederhanakan bentuk pelaporan Pengelolaan Kinerja Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas sekolah tanpa mengurangi esensi. Penyederhanaan yang dilakukan hanya mencakup intensitas pelaporan dari dua kali setahun menjadi sekali setahun. Guru-guru juga tidak harus repot untuk mengunggah dokumen pendukung. Dokumen pendukung hanya akan diverifikasi oleh kepala sekolah. Nah, dari segi substansi tidak ada perubahan mendasar. Justru, kebijakan ini sepertinya memberikan kelonggaran kepada guru untuk tidak lagi pusing mengunggah perangkat ajar. Pada hal, kelemahan kita selama ini adalah guru masih enggan untuk menyusun perangkat dan bahan ajar seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau Modul Ajar, atau media pembelajaran.

Di tahun 2025 mendatang, Pemerintah tampaknya masih menyisakan pekerjaan rumah untuk guru dan tenaga kependidikan lainnya.  "Frank" kenaikan gaji yang disampaikan oleh Presiden Prabowo pada Puncak Peringatan Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu terlanjur membuat kalangan guru dan tenaga kependidikan "patah hati". Untuk itu, tampaknya pemerintah harus mampu mengobati kekecewaan kalangan guru dan tenaga kependidikan tersebut dengan bentuk insentif lainnya. Sebab jika tidak, ini tentunya akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan khususnya Kemendikdasmen.

Guru dan tenaga kependidikan adalah figur dari kalangan intelektual. Mereka tidak akan pernah alergi dengan perubahan. Meski demikian, mereka tentunya berharap jika ada hal yang dirasakan telah memberikan manfaat hendaknya bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Pemerintah tentu sangat berkepentingan terhadap keberlanjutan program pembangunan. Oleh sebab itu komitmen ini harus dijaga, sehingga stigma ganti Menteri ganti Kurikulum atau ganti kebijakan tidak lagi melekat pada masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun