Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Duh.....Sulitnya Mengubah Paradigma

17 Juni 2024   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2024   13:33 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dialog Merah Putih yang digelar Bali TV -salah satu TV lokal di Bali- menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2024 beberapa waktu lalu, menarik untuk dicermati. Bukan saja karena menghadirkan tokoh-tokoh pendidikan yang sangat mumpuni. Siapa yang tak kenal dengan Prof Widana, Ida Bagus Anom serta Adi Trisna Sugara. Mereka bukan saja akademisi, namun juga praktisi yang sudah lama malang melintang di dunia Pendidikan. Namun, dialog ini juga menarik karena mengangkat Merdeka Belajar sebagai topik utama yang notabene spekululasi keberlanjutan program besutan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mulai bermunculan.

Terlepas dari spekulasi tersebut, hal paling menarik untuk dicermati dari dialog tersebut justru berkaitan dengan sorotan tentang kompetensi dan komitmen guru. Adalah sosok Ida Bagus Anom yang menyuarakan kegelisahan itu. Mantan Kakanwil Depdikbud Propinsi Bali menilai guru-guru masih belum sepenuhnya mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan keterampilan abad 21 yang lebih dikenal dengan keterampilan 4 C yakni Collaboration, Communication, Creativity, Critical Thinking. Pendek kata, Anom ingin mengatakan sebagian guru-guru di Bali masih belum mampu melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan peserta didik. Skema pembelajaran berdiferensiasi yang digadang gadang akan mampu menyelesaikan permasalahan proses pembelajaran di kelas belum berjalan sesuai dengan harapan. Tidak sedikit guru-guru yang masih terjebak pada pola lama pembelajaran di kelas. Mereka masih sulit move on atau melepaskan diri dari kebiasaan lama. Tulisan ini mencoba untuk meneropong kondisi tersebut dari beragam perspektif. Lingkungan sekolah, kompetensi manajerial kepala sekolah serta motivasi internal guru itu sendiri.

Kita mungkin sepakat bahwa paradigma lama tentang lingkungan sekolah di mata siswa hingga saat ini masih sangat identik dengan tugas berat. Pekerjaan rumah yang berjiblun. Target perolehan nilai akademik yang harus sempurna, karena akan membawa nama harum sekolah. Raut wajah guru yang "menakutkan" karena terlalu hegemonik di kelas. Lingkungan sekolah yang "menyeramkan" karena dipenuhi dengan tumpukan portofolio administrative. Kita tentu tidak bisa berharap banyak dari kondisi ini Impian pembelajaran yang menyenangkan, bermakna, kreatif, inovatif berdasarkan pengalaman kongkrit hanya sebatas impian yang tak kunjung terwujud.

Adalah tugas kepala sekolah untuk mentransformasikan lingkungan sekolah menjadi lingkungan yang menyenangkan, menantang sekaligus menjadi ruang yang dipenuhi kreativitas dan inovasi siswa sesuai dengan potensi dirinya. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu mentransformasikan diri dari sosok yang dilayani ke sosok pelayan siswa dan orang tua. Untuk mampu melakukan transformasi maka dibutuhkan kepala sekolah yang berintegritas yakni adanya satu kesatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Selain itu juga dibutuhkan kepala sekolah yang memiliki kemampuan untuk menjadi motor penggerak di sekolah melalui kompetensi professional yang mumpuni. Dan akan lebih maksimal dan optimal jika kepala sekolah juga memiliki kemampuan entrepreneur , yakni visioner dalam membaca tanda-tanda jaman dan fasih akan perkembangan dan tantangan pendidikan ke depan. Dalam kontek inilah para Narasumber dalam dialog merah putih tersebut mengajak para kepala sekolah di Bali untuk bergerak bersama untuk melakukan perubahan paradigma.

Secara umum kondisi guru juga mengalami problematika yang sama. Meski ada trend positif namun tidak sedikit guru yang masih terjebak pada paradigma lama. Mereka masih belum mampu bertransformasi dari pelaksana kurikulum menjadi pemilik dan pembuat kurikulum. Guru juga belum sepenuhnya mampu memfasilitasi siswa untuk menggali pengetahun baru dari berbagai sumber dan media belajar yang beragam. Implementasi pembelajaran berdiferensiasi baru sebatas catatan akademik. Terlihat, namun belum terimplementasikan dengan baik. Sepertinya ada guru-guru masih belum mampu melepaskan diri dari zona nyaman pembelajaran konvensional. Dominasi guru selama proses pembelajaran masih terasa. Kondisi ini diperparah dengan perilaku sebagian guru yang masih fokus pada upaya penuntasan Kurikulum dengan kecendrungan proses penilaian hanya pada aspek penilaian sumatif dan mengabaikan penilaian proses. Dampak paling kasat mata yang terjadi, kelas tidak dinamis karena kanal untuk pengembangan keterampilan abad 21 tertutup. Nah, dalam atmosper  pembelajaran seperti itu, maka Implementasi Kurikulum Merdeka hanya asesoris akademik, dan hanya stempel  klaim bahwa sekolah telah melakukan transformasi, meskipun sesungguhnya transformasi semu.

Dalam catatan Balai Guru Penggerak ( BGP) Bali, jumlah guru penggerak terus mengalami peningkatan menuju titik ekualibrium ideal. Guru penggerak selain diharapkan mampu menjadikan dirinya sebagai role model perubahan di sekolah, juga dituntut melaksanakan tiga misi yakni menjadi katalisator untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila, mentor/ pelatih bagi guru lain, serta mengembangkan praktik baik dalam rangka mentransformasi ekosistem pendidikan. Jujur harus diakui, sebagian diantara mereka ( guru penggerak ) telah mampu menjadi motor penggerak, paling tidak di lingkungan terdekatnya. Namun sayang, masih cukup banyak diantara mereka yang belum sepenuhnya mampu mengagregasi ketiga misi tersebut. Pergerakan mereka meriah di ruang-ruang virtual, dari satu webinar ke webinar lainnya. Seharusnya mereka lebih progresif untuk menggerakan rekan sejawat yang selama ini bernasib kurang mujur.

Untuk mampu mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, maka kolaborasi antar dan lintas lini sangat dibutuhkan. Perubahan paradigma menjadi sebuah keniscayaan. Dibutuhkan upaya dan kerja keras untuk mengubah paradigma tersebut. Dan Kurikulum Merdeka memfasilitasi dan memberikan ruang bagi terwujudkan perubahan tersebut. Hal yang sudah baik tentunya wajib dipertahankan. Hal yang kurang sesuai tentu perlu penyempurnaa.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun